Senin, 13 Juni 2016

Hukum Janji, Sumpah dan Nazar

Allah SWT telah berfirman dalam sebuah ayat yg artinya “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut .” Dinul Islam sejak kedatangannya mempunyai tujuan yg indah yaitu membangun masyarakat yg ideal penuh dgn keutamaan jauh dari kehinaan saling tolong menolong atas dasar taqwa dan kebaikan serta saling berwasiat dgn kesabaran dan kebenaran. Dinul Islam juga mengajarkan agar tiap muslim menghiasi dirinya dgn akhlak yg mulia. Dan di antara akhlak yg mulia itu adl menepati janji. Allah SWT berfirman yg artinya “Dan ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil janganlah kalian beribadah kepada selain Allah dan berbuat baiklah kepada ibu bapa kaum kerabat anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” Ma’asyiral muslimin rakhimakumullah!Menepati janji Allah dan rasul-Nya adl pokok pondasi dari semua janji. Bila seseorang berhasil menepati janji Allah dan rasul-Nya maka ia akan berhasil pula dalam menepati janji lainnya. Sebaliknya bila ia gagal memenuhi janji Allah dan rasul-Nya maka ia adl orang yg tidak lagi memiliki janji dan keamanan. Karena antara janji dan keimanan saling berhubungan. Berdasarkan ayat dari surat Al-Baqarah di atas yg dimaksud dgn janji Allah adl beribadah hanya kepada-Nya. Adapun yg dimaksud dgn janji rasul adl mengikuti perjalanan sirah dan konsep kehidupannya. Allah SWT berfirman yg artinya “Dan ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi ‘Sungguh apa saja yg Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yg membenarkan apa yg ada padamu niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya’. Allah berfirman ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yg demikian itu’? mereka menjawab ‘Kami mengakui’. Allah berfirman ‘Kalau begitu saksikanlah dan Aku menjadi saksi bersamamu’.” Tidak diragukan lagi menepati janji selain tanda dari keistiqamahan ia juga merupakan tiang dari kepercayaan seseorang. Kalau menepati janji tidak ada maka istiqamah dan kepercayaan juga tidak ada. Allah SWT berfirman ” sebenarnya siapa yg menepati janji nya dan bertakwa maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yg bertaqwa.” Dalam sisi lain Islam juga mencela bagi mereka yg menghianati amanat. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya binatang yg paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yg kafir krn mereka itu tidak beriman. orang-orang yg kamu telah mengambil perjanjian dgn mereka sesudah itu mereka menghianati janjinya pada tiap kalinya dan mereka tidak takut .” Ma’asyiral muslimin rakhimakumullah!Ada ungkapan yg menyebutkan bahwa janji itu adl hutang. Oleh krn itu harus dipenuhi. Disamping itu janji juga akan diminta pertanggungjawabannya. Allah SWT berfirman “Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya.” Atau dalam firman-Nya yg lain “Dan tepatilah perjanjian dgn Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah meneguhkannya.” Oleh krn itu siapa saja yg telah berjanji kepada sesama manusia entah itu berkenaan dgn janji membayar hutang memenuhi undangan berkumpul di suatu tempat dan sebagainya maka janji-janji itu harus dipenuhi dan tak boleh diingkari. Rasulullah saw bersabda “Ada tiga hal siapa yg berada di dalamnya maka dia adl orang munafik meskipun dia salat puasa haji berkata bahwa dirinya adl seorang muslim. Tiga hal tersebut adalah apabila berbicara berbohong apabila berjanji mengingkari dan apabila diberi amanat berkhianat.” Ma’asyiral muslimin rakhimakumullah!Termasuk menepati janji yg perlu diperhatikan adl membayar hutang. Karena membayar hutang memiliki kedudukan yg kuat di sisi Allah SWT. Maka siapa yg telah berhutang hendaklah ia berusaha dgn sekuat tenaga utk memenuhi hutang tersebut dan Allah akan menjamin pelunasan hutangnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda “Tiga hal yg merupakan kewajiban Allah utk memberikan pertolongan yaitu seorang budak mukatab yg berusaha melunasi dirinya orang yg menikah krn menjaga kehormatan dan orang yg berjihad di jalan Allah.” Hadis di atas memberi kejelasan bahwa Allah memberi udzur bagi orang yg kesulitan membayar hutang krn kondisi yg sulit atau krn adanya musibah. Adapun bagi mereka yg mampu melunasi tetapi tidak segera membayarkannya maka hal ini termasuk sikap meremehkan dan kemewahan yg dibenci. Sementara mereka yg berhutang dan berniat tidak mengembalikannya ini termasuk orang yg merusak janji. Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa yg mengambil harta manusia krn ingin ditunaikan kepada yg berhak niscaya Allah akan menyampaikannya. Namun barangsiapa mengambil harta manusia krn ingin dihilangkannya. Maka Allah akan menghilangkannya.” Karena itu marilah kita takut kepada Allah dan marilah kita penuhi janji-janji dan marilah kita melaksanakan amanat. Rasulullah saw bersabda “Tidak ada iman bagi yg tidak melaksanakan amanat dan tidak ada dien bagi yg tidak memenuhi janji.”Wallahu a’lam bishshawab.

Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah. Dasar dari wajibnya kita menunaikan janji yang telah kita berikan antara lain adalah:
a. Perintah Allah SWT dalam Al-Qurân Al-Karim
Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan.
وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ اللّهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
وَلاَ تَتَّخِذُواْ أَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُواْ الْسُّوءَ بِمَا صَدَدتُّمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.
b. Menunaikan Janji Adalah Ciri Orang Beriman
Allah menyebutkan dalam surat Al-Mu`minun tentang ciri-ciri orang beriman. Salah satunya yang paling utama adalah mereka yang memelihara amanat dan janji yang pernah diucapkannya.
Telah Beruntunglah orang-orang beriman, yaitu yang …. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.
c. Ingkar Janji Adalah Perbuatan Syetan
Ingkar janji itu merupakan sifat dan perbuatan syetan. Dan mereka menggunakan janji itu dalam rangka mengelabuhi manusia dan menarik mereka ke dalam kesesatan. Dengan menjual janji itu, maka syetan telah berhasil menangguk keuntungan yang sangat besar. Karena alih-alih melaksanakan janjinya, syetan justru akan merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya itu.
يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا

Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.
d. Ingkar Janji Adalah Sifat Bani Israil
Ingkar janji juga perintah Allah kepada Bani Israil, namun sayangnya perintah itu dilanggarnya dan mereka dikenal sebagai umat yang terbiasa ingkar janji. Hal itu diabadikan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu dan hanya kepadaKu lah kamu harus takut.
Janji yang Mungkar
Namun janji itu hanya wajib ditunaikan manakala berbentuk sesuatu yang hala dan makruf. Sebaliknya bila janji itu adalah sesuatu yang mungkar, haram, maksiat atau hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam, maka janji itu adalah janji yang batil. Hukumnya menjadi haram untuk dilaksanakan.
Misalnya seseorang berjanji untuk berzina, minum khamar, mencuri, membunuh atau melakukan kemaksiatan lainnya, maka janji itu adalah janji yang mungkar. Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk melaksanakan janjinya itu. Meski pun ketika berjanji, dia mengucapkan nama Allah SWT atau sampai bersumpah. Sebab janji untuk melakukan kemungkaran itu hukumnya batal dengan sendirinya.
Dalam kasus tertentu, bila seseorang dipaksa untuk berjanji melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam, tidak ada kewajiban sama sekali baginya untuk menunaikannya.
Misalnya, seorang prajurit muslim dan disiksa oleh lawan. Lalu sebagai syarat pembebasan hukumannya, dia dipaksa berjanji untuk tidak shalat atau mengerjakan perintah agama. Maka bila siksaan itu terasa berat baginya, dia diberi keringanan untuk menyatakan janji itu, namun begitu lepas dari musuh, dia sama sekali tidak punya kewajiban untuk melaksanakan janjinya itu. Sebab janji itu dengan sendirinya sudah gugur.
Dalam kasus Amar bin Yasir, hal yang sama juga terjadi dan Allah SWT memberikan keringanan kepadanya untuk melakukannya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Hukuman Bila Melanggar Janji/ Sumpah

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur.
Dari ayat tersebut bisa kita ambil beberapa ketentuan hukum antara lain:
1. Tidak semua pelanggaran atas sumpah itu diancam dengan hukuman. Karena ada jenis sumpah tertentu yang dinilai oleh Allah SWT sebagai sumpah yang main-main saja.
2. Apabila seseorang melanggar sumpah yang disengaja, maka harus ditebus dengan beberapa alternatif yaitu:
  1. Memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
  2. Memberi pakaian kepada mereka atau
  3. Memerdekakan seorang budak.
  4. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.

4 Situasi yang bisa jadi diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk membatalkan janjinya

Tidak diragukan lagi bahwa menepati janji dan menjaga perkataan seseorang adalah sikap dari orang beriman dan membatalkan janji merupakan salah satu tanda orang yang munafik. Berdasarkan hadits, Nabi Muhammad SAW mengatakan :"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya" (HR. Bukhari dan Muslim). Satu tambahan lagi, "Dan apabila bertengkar (bertikai), dia melampau."
Namun apakah ada alasan yang memperbolehkan seseorang ketika dia harus membatalkan janjinya menurut Islam?
Syeikh M. S. Al-Munajjid, pengarang dan pengajar dari Arab Saudi yang cukup populer, di bawah ini menjelaskan tentang situasi-situasi yang bisa jadi dibolehkan bagi seorang Muslim ketika dia harus membatalkan janji yang pernah ia buat:

“Orang beriman yang berjanji ke orang lain dan membatalkan janjinya itu mungkin punya alasan dan mungkin juga tidak. Jika dia memiliki alasan yang kuat dan diperbolehkan menurut agama Islam, maka tidak ada dosa baginya, namun jika ia tidak memiliki alasan yang kuat maka ia telah berbuat dosa.
Sepengetahuan kami, tidak ada keterangan yang menyebutkan membolehkan satu alasan yang dapat membatalkan janji, tapi mungkin ada beberapa janji yang dibatalkan karena situasi yang terjadi yang tidak memungkinkan bagi seseorang yang beriman untuk menepatinya. Sebagai contoh:

1-Lupa

Allah Swt. telah memaafkan hamba-Nya yang karena lupa sehingga ia tidak mengerjakan sesuatu yang wajib. Allah Swt. berfirman, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah" (Al-Baqarah: 286) Dan Allah Swt. menjawab: “Iya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Dalam tafsir yang menjelaskan tentang surat Al-Baqarah ayat 285-286 itu disebutkan,
Di dalam ayat-ayat tersebut juga terdapat pemberitaan bahwa Allah tidak membebani para hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuan mereka, setiap jiwa akan mendapat pahala kebaikan yang dilakukannya dan dosa atas kejahatan yang dilakukannya, Allah Ta’ala mengampuni keterbatasan mereka dalam mengemban kewajiban-kewajiban dan hal-hal haram yang dilanggar, tidak memberikan sanksi atas kesalahan dan kelupaan mereka, Dia sangat memudahkan syari’at-Nya dan tidak membebani mereka hal-hal yang berat dan sulit sebagaimana yang dibebankan kepada orang-orang sebelum mereka serta tidak membebankan mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Dia telah mengampuni, merahmati dan menolong mereka atas orang-orang kafir. (Lihat, Tasysiir al-Kariim ar-Rahmaan, h.101)

Allah Ta’ala telah menjelaskan karunia-Nya itu dengan firman-Nya, ‘Telah Aku lakukan (Aku telah menetapkannya)’ sebagai jawaban atas setiap doa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut.
Dan bagi siapa saja yang berjanji kepada orang lain lalu ia lupa untuk melakukannya di waktu yang telah ditentukan maka tidak ada dosa baginya.

2-Karena dipaksa
Gara-gara dipaksa bisa menjadi alasan yang memperbolehkan seorang Muslim untuk membatalkan janji yang ia buat, seperti seseorang yang ditahan atau dicegah sehingga ia tidak bisa memenuhi janjinya, atau seseorang yang diancam dengan hukuman yang menyakitkan.

Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya Allah memaafkan kepada umatku dari kesalahan yang tidak disengaja, lupa atau yang dipaksakan atasnya." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim dan Ibnu Majah.)

3- Berjanji untuk melakukan sesuatu perbuatan yang haram atau tidak melakukan yang hukumnya wajib
Barangsiapa yang berjanji kepada seseorang bahwa ia akan melakukan perbuatan yang haram untuknya, atau ia tidak akan melakukan sesuatu yang hukumnya wajib, maka diperbolehkan baginya untuk tidak memenuhi janji tersebut.

4-Suatu kejadian yang tidak terduga sebelumnya
Jika terjadi suatu kejadian yang tidak diduga sebelumnya dan menimpa orang yang berjanji, seperti sakit, kematian saudaranya atau transportasi yang bermasalah dan alasan-alasan lainnya, maka situasi tersebut mungkin bisa menjadi alasan yang tepat apabila dia tidak bisa memenuhi janjinya, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)" 

TENTANG NAZAR 

Dalil syarak
Firman Allah dalam ayat 7 surah al-Insan yang bermaksud : Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang mana azabnya merata di mana-mana.

Hadis riwayat imam Bukhari daripada Sayyidatina ‘Aishah daripada nabi S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Sesiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah maka taatilah akanNya dan sesiapa yang bernazar untuk berbuat maksiat kepadaNya maka janganlah membuat maksiat kepadaNya.

Hukum nazar
Nazar disyariatkan oleh Islam dan diharuskan untuk menghampirkan diri kepada Allah. Oleh sebab ia itu para ulama’ feqah berpendapat tidak sah nazar orang kafir.

Jenis-jenis nazar
Nazar terbahagi kepada 3 jenis iaitu sebagaimana berikut :

Pertama : Nazar Lajaj
Ia merupakan nazar yang berlaku ketika seseorang itu berada dalam keadaan hilang pertimbangan diri akibat terlalu marah seperti dia berkata ketika dalam keadaan itu : ” Sekiranya aku bercakap dengan si pulan maka demi Allah atasku puasa sebulan”.

Kedua  : Nazar al-Mujazah ( Mukafaah )
Ia merupakan nazar yang mana seseorang itu bergantung pada sesuatu yang akan menyebabkan dia akan melakukan sesuatu. Dia berbuat demikian bukannya ketika hilang pertimbangan diri akibat terlalu marah. Contohnya seperti seorang yang bernazar itu berkata : “Sekiranya Allah menyembuhkan penyakitku ini maka demi Allah aku akan bersedekah seekor kambing”.

Ketiga  : Nazar Mutlak
Ia merupakan nazar yang mana dilafazkan oleh seseorang bagi tujuan mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengaitkan nazarnya itu dengan sesuatu perkara yang lain dan juga bukan dilafaz ketika hilang pertimbangan diri kerana terlalu marah. Contohnya seseorang itu berkata : “Bagi Allah atasku puasa pada hari Khamis”.

Dipanggil juga nazar jenis kedua dan ketiga sebagai nazar kebajikan kerana orang yang bernazar itu berniat untuk berbuat kebajikan dan menghampirkan diri kepada Allah.

Hukum bagi setiap jenis nazar
Pertama : Nazar Lajaj
Hukumnya bergantung kepada perkara yang dikaitkan dengannya iaitu apa yang dinazar. Jika ia boleh berlaku maka wajib atas orang yang bernazar itu untuk melaksanakan apa yang dinazarkan atau pun membayar kafarah sumpah. Dia dibolehkan untuk memilih antara keduanya kerana nazar jenis ini hampir sama dengan nazar dari sudut mewajibkan diri(mewajibkan berpuasa sebulan misalnya) dan menyerupai sumpah pada sudut keadaannya sebagai jalan ke arah menghalang daripada sesuatu(tidak mahu bercakap dengan si pulan misalnya).

Dalilnya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim daripada ‘Uqbah bin ‘Amir daripada Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Kafarah nazar seperti kafarah sumpah.

Kedua  : Nazar al-Mujazah
Hukumnya ialah jika apa yang dikaitkan dengan apa yang dinazar berlaku seperti sembuh daripada penyakit maka dia diwajibkan untuk melaksanakan apa yang telah dinazar seperti sedekah seekor kambing. Dia tidak boleh menggantikannya dengan perkara lain.

Dalilnya sebagaimana maksud firman Allah dalam ayat 29 surah al-Haj : Dan kamu hendaklah menepati dengan janji Allah apabila kamu berjanji.
Maksud hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh imam Bukhari daripada Sayyidatina ‘Aishah: Sesiapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah akanNya.

Ketiga  : Nazar Mutlak
Hukumnya ialah wajib ke atas orang bernazar untuk melaksanakan apa yang telah dinazarkan secara mutlak tanpa terikat pada sesuatu perkara.

Dalilnya adalah sebagaimana ayat 29 surah al-Haj sebagaimana disebut dalam nazar al-Mujazah di atas yang mana ia datang dengan dalil yang umum. Dia diharuskan untuk melewatkan pelaksanaan kepada apa yang telah dinazarkan sehinggalah dia merasakan bahawa dirinya sudah mampu untuk melaksanakannya seperti berpuasa pada hari Khamis.

Dia tidak boleh menukar nazarnya itu dengan kafarah sumpah kerana makna sumpah telah ternafi dengan nazar jenis ini.

SYARAT NAZAR YANG BERKAITAN DENGAN ORANG YANG BERNAZAR
Syarat nazar yang berkaitan dengan batang tubuh orang yang bernazar itu sendiri ada 3 syarat iaitu :

Pertama : Islam
Tidak sah nazar orang kafir kerana kafir bukan termasuk dalam ahli bagi kerja ibadat kepada Allah.

Kedua   : Mukallaf
Tidak sah nazar kanak-kanak dan orang gila kerana mereka bukan ahli bagi mewajibkan sesuatu ke atas mereka.

Ketiga  : Pilihan dan kehendak diri sendiri
Tidak sah nazar orang yang dipaksa sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah daripada Ibnu Abbas bahawa Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Diangkat daripada umatku jika dia berbuat secara tersalah, lupa dan apa yang dipaksa ke atasnya.

SYARAT NAZAR YANG BERKAITAN DENGAN APA YANG DINAZARKAN
Syarat nazar yang berkaitan dengan perkara yang dinazar pula ada 2 syarat iaitu :
Pertama : Perkara yang dinazar itu merupakan perkara yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Tidak boleh bernazar kepada perkara yang diharuskan oleh syarak kerana perkara itu tidak membawa kepada pahala atau dosa bagi sesiapa yang melakukannya. Jika seseorang itu bernazar dalam perkara yang diharuskan seperti makan, minum, tidur dan sebagainya maka ia tidak memberi kesan apa-apa kepada nazarnya.

Dalilnya adalah sebagaimana hadis riwayat imam Bukhari daripada Ibnu Abbas telah memberitahu : Adalah nabi S.A.W ketika berkhutbah, tiba-tiba ada seorang lelaki yang bangkit dan bertanya tentang dirinya. Maka mereka(para sahabat) bertanya : Abu Israel telah bernazar untuk sentiasa bangun, tidak duduk, tidak berteduh, tidak bercakap dan berpuasa. Maka jawab baginda S.A.W yang bermaksud : Biarkan maka bercakaplah, berteduhlah, duduklah dan tunaikan puasanya.

Hadis ini menunjukkan kepada kita bagaimana Rasulullah S.A.W menyuruh orang yang bernazar tadi untuk hanya berpuasa kerana puasa merupakan perkara ibadat dan taat. Maka menunaikan nazar berpuasa itu adalah wajib.
 
Begitu juga dilarang bernazar dalam perkara yang diharamkan seperti membunuh dan berzina.

Dilarang juga bernazar dalam perkara yang makruh seperti bernazar untuk meninggalkan sunat rawatib setiap kali selepas solat fardhu. Ini adalah kerana bernazar untuk melakukan perkara makruh dan haram bukan termasuk dalam perkara yang bertujuan untuk mendekatkan dirui kepada Allah dan ibadat.

Dalil yang mana imam Muslim meriwayatkan bahawa Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud : Bukan nazar dalam melakukan maksiat kepada Allah.

Abu Daud meriwayatkan daripada Rasulullah S.A.W yang bermaksud : Bukan nazar melainkan pada apa yang mengharapkan penerimaan Allah.

Kedua  : Perkara yang dinazar itu bukan daripada kewajipan yang memang telah diwajibkan dari mulanya lagi
Sekiranya seseorang itu bernazar untuk solat Zohor atau ingin mengeluarkan zakat hartanya maka nazarnya itu tidak sah kerana nazarnya itu tidak membawa kesan kepada kewajipan yang baru. Ini disebabkan solat Zohor dan zakat hartanya itu memang telah wajib dari mulanya lagi tanpa memerlukan kepada nazar lagi.
Dan terkeluar daripada kewajipan yang telah ditentukan ialah perkara yang diwajibkan secara fardhu kifayah maka ia diharuskan untuk bernazar dengannya. Sebagai contohnya seseorang itu bernazar ingin solat jenazah atau pun belajar ilmu fardhu kifayah seperti kedoktoran, jurutera dan sebagainya maka nazar ini diharuskan. Ini adalah kerana nazarnya tadi akan menjadikan fardhu kifayah pada asalnya kepada fardhu ‘ain. Fardhu kifayah hanya diwajibkan kepada sesetengah orang atau kumpulan sahaja di mana jika telah ada demikian itu maka segala kewajipan tadi akan gugur ke atas orang lain sedangkan fardhu ‘ain diwajibkan ke atas individu dalam apa jua keadaan.

Fenomena Menggampangkan Janji

Ini cerita saya di Adelaide dulu. Saya menawarkan komputer saya kepada rekan sekerja yang berbangsa Palestina Amerika. Dia berjanji akan mengambil komputer itu setelah Maghrib. Pada saat bersamaan, seorang kawan Indonesia juga ingin membeli komputer saya sekarang juga tanpa harus menunggu Maghrib. Saya katakan pada dia, kita tunggulah habis Maghrib. Kalau kawan Palestina itu tidak datang juga, baru saya jual sama kamu. Tunggu punya tunggu, hingga menjelang Isya, si kawan Palestina itu tidak datang juga. Akhirnya saya jual komputer itu kepada kawan Indonesia tersebut, karena beranggapan masa menunggu janji dengan orang Palestina itu sudah habis alias expire. Tanpa disangka, satu jam setelah Isya di musim panas, kawan itu menelepon hendak ke rumah untuk mengambil komputer tersebut. Saya mengatakan bahwa komputer itu sudah kujual, karena dia datang setelah maghrib tadi. Dia marah besar dan menganggap sayatidak menepati janji. Saya malah berpikir sebaliknya? Loh, bukannya dia sendiri yang tidak menepati janji yang sudah disepakati itu? Setelah itu hubungan kami menjadi dingin, hanya karena kasus jualan komputer tersebut.
Mengapa orang Islam begitu mudah mengingkari janji? Bukankah agama sudah menekankan betapa pentingnya memenuhi janji yang telah dibuat? Mari kita lihat hujjah-hujjah yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah tentang betapa pentingnya menepati janji.
Menepati janji ada kaitannya dengan disiplin waktu. Tidak ada agama-agama didunia ini selain Islam yang sangat ketat dalam masalah disiplin waktu dalam ibadah, seperti:
  1. Mengapa puasa menjadi batal gara-gara seseorang berbuka 5 menit sebelum waktunya?
  2. Mengapa pula sholat menjadi tidak sah jika dilakukan 5 menit sebelumnya?
  3. Mengapa haji seseorang itu menjadi batal jika ia datang ke Arafah 5 menit setelah shubuh pada hari nahr (10 Dzulhijjah)?
  4. dll
Tidak lain, wallahu’alam, semua itu karena Islam ingin mengajari disiplin dalam waktu dan setia kepada janji.
Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban bagi orang-orang mukmin pada waktu yang telah ditentukan.” (An-Nisa’: 103)
Agama yang seluruh ibadahnyaberdasarkan waktu-waktu tertentu yang rapi adalah agama yang agung, karena mengajarkan pengikutnya untuk teliti dan teratur dalam memelihara waktu.
Dalam kaitannya dengan menepati janji, beberapa ayat al-Qur’an dengan jelas menyebutkan betapa pentingnya memelihara janji. Kita bisa baca dari ayat-ayat berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman, tepatilah semua akad janjimu.” (Al-Maidah: 1)
Dan tepatilah semua janji, sesungguhnya perjanjian itu akan dipertanggungjawabkan.” (Al-Isra’: 34)
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak perbuat, sungguh besar murka Allah jika kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat.” (Ash-Shaff: 2-3)
Dan ceritakanlah (kisah tentang) Ismail (yang terdapat) dalam Al-Qur’an, sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan ia adalah rasul dan nabi.” (Maryam: 54)
Imam Al-Qurtubi Rahimahullah berkata: “Shidqul wa’di (benar janji) adalah akhlaq para nabi dan rasul; sedangkan kebalikannya-mengingkari janji- adalah akhlaq yang tercela dan termasuk akhlaq orang-orang fasiq dan munafiq. Allah SWT telah memuji Ismail as dan menyebutnya sebagai orang yang benar janjinya, karena Ismail berjanji pada dirinya untuk sabar menjalankan perintah Allah ketika mau disembelih. Ia sabar menta’ati perintah itu yang akhirnya tidak jadi disembelih dan digantikan dengan binatang.”
Menepati janji yang merupakan ciri-ciri seorang nabi juga ada disinggung dalam sebuah percakapan antara Heraklius dan Abu Sufyan.
Saya bertanya, apa yang dia perintahkan kepada kalian? Dia memerintahkan kalian untuk menunaikan shalat, jujur, menjaga diri, menepati janji dan menunaikan amanah. Dia mengatakan: itu adalah ciri-ciri seorang nabi.” (Shahih Al-Bukhari: kitab Asy-Syahadah, bab Min Amrin …)
Kenapa orang yang mengingkari janji disebut tanda-tanda orang munafiq? Ini karena telah disebutkan didalam hadist yang berbunyi:
Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga: apabila berbicara bohong, apabila dipercaya berkhianat, dan apabila berjanji mengingkari.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
“Apabila berjanji mengingkari” bermaksud apabila berjanji dia berniat untuk mengingkari atau tidak menepati janji tanpa udzur (halangan).
Fenomena ini tersebar luas di negara kita Indonesia, yaitu ketika berjanji mereka menyebut Insya Allah tapi dalam hatinya berniat untuk tidak melaksanakan janji tersebut. Kata ini sering kali di gunakan untuk menutupi atau sebagai legalitas dari sebuah keraguan. Ketika kita melakukan sebuah janji dengan seseorang kita sering mengucapkan kata itu. Tapi kadang-kadang kita menggunakan kata itu hanya takut bila nanti kita tak menepati janji tersebut atau sebagai legalitas untuk meredam emosi atau kekesalan terhadap pihak yang telah kita berikan janji. Kesalahanya adalah kita menempatkan kata itu atas dasar sungkan (tak berhasrat atau tak kita niati sepenuhnya) atas suatu yang akan kita lakukan. Padahal kata tersebut harusnya kita dasari dengan kejujuran dan niat untuk melakukan apa yang akan kita lakukan bukanya hanya untuk menutupi keraguan kita. Kata Insya Allah dijadikan tameng untuk persiapan mengingkari janji.
Nah setelah mengetahui dimana posisi Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam hal menjaga waktu dan menepati janji, pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah menepati janji itu wajib atau sunnat?
Dalam hal ini, para ulama terpecah ke dalam dua pendapat: wajib dan sunnat. Jadi tidak semua seia sekata mengatakan wajib.
Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan jumhur ulama mengatakan hukumnya adalah sunnat. Seandainya tidak ditepati maka orang tersebut tidak mendapat keutamaan sekaligus melakukan perbuatan yang makruh (dibenci) berat.
Sedangkan Imam Ahmad mengatakan wajib menepati janji.
Malikiyah menyatakan wajib ditepati apabila ada kaitan dengan suatu sebab, seperti:
  • menikahlah, maka kamu akan mendapatkan ini
  • bersumpahlah untuk tidak mencelakai aku
  • dll
Sedangkan janji yang tiada sebab, maka tidak wajib ditepati. Contohnya:
Ketika sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang teman mengenai sebuah perkara, tiba-tiba teman tersebut berkata: “Nanti malam aku kirim filenya melalui email kamu.” Tunggu punya tunggu, file tersebut tidak nongol-nongol juga di account email kita. Ini yang disebut berjanji tanpa sebab yang menurut madzhab Maliki tidak wajib ditepati.
Walaupun mayoritas ulama Syafi’iyah, termasuk An-Nawawi, menyatakan bahwa tidak menepati janji hukumnya adalah makruh, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani salah satu tokoh ulama besar dari madzhab Syafi’i, malah mempertanyakan pendapat yang mengatakan tidak wajib menepati janji. Menurut beliau dalil-dalil yang menunjukkan wajib menepati janji baik dari al-Qur’an maupun hadit-hadith sangat kuat. Maka bagaimana ia bisa menjadi makruh?
Imam Taqiyuddin Al-Subki juga mempertanyakan pendapat ulama-ulama Asy-Syafi’iyah yang mengatakan tidak wajib menepati janji. Karena secara zahir dan sunnah menunjukkan kewajibannya dimana mengingkari janji adalah sebuah bentuk kebohongan. Sedangkan berbohong termasuk akhlaq orang munafiq. Beliau kemudian mentarjih masalah ini dan mengatakan wajib hukumnya menepati janji.
Sebab-Sebab Meremehkan Waktu
  1. Lemahnya komitmen terhadap hukum-hukum syariat, seperti tidak mengetahui bahwa janji yang sudah disepakati tidak boleh dilanggar kecuali uzur.
  2. Tidak pedulian.  Sifat yang tidak peduli dengan urusan waktu hingga mendarah daging. Akibatnya mereka tidak peduli apakah mereka hadir tepat waktu. Bahkan sengaja datang terlambat tanpa ada rasa beban sama sekali.
  3. Menganggap remeh urusan menit. Kalau berjanji jam 7.15, maka ditunda hingga jam 7.30 bahkan jam 8.00.
  4. Menganggap acara itu tidak penting. Tidak hadir dalam satu acara yang sudah dijanjikan tanpa memberitahukan terlebih dahulu, karena merasa tidak berkepentingan dengan acara tersebut, atau menghadiri acara lain yang lebih penting.
  5. Tidak memperhatikan skala prioritas. Contohnya:
    + Saya terlambat karena harus mengantar istri ke pasar
    + Saya terlambat karena ada acara lain. Tidak patut membuat janji lebih dari satu.
    + Saya terlambat karena tiba-tiba ada tamu di rumah saya. Mana lebih penting menemui tamu dan terlambat menunaikan janji, atau meminta izin kepada tamu untuk menghadiri suatu janji. Anggaplah anda harus bekerja sore hari, tetapi datang tamu tiba-tiba ke rumah anda. Apakah anda akan mengorbankan kerja anda karena menghormati tamu? “Apabila dikatakan kepada kalian, ‘Pulanglah!’ maka kalian harus pulang. Karena itu lebih suci bagi kalian.” (An-Nur: 28)
    + Saya terlambat karena macet di jalan. Seharusnya merancang waktu agar dapat tiba dengan tepat dengan memasukkan waktu macet.
  6. Tidak tegas dalam menghadapi masalah.  Banyak orang tidak setuju atas keterlambatan orang lain, tetapi memiliki rasa malu atau hormat ke orang tersebut untuk menegurnya.
  7. Lingkungan dan Masyarakat. Lingkungan yang sudah terbiasa meremehkan waktu sehingga telah menjadi kebiasaan masyarakat. Seperti di Indonesia yang sudah terbiasa dengan budaya jam karet.
MASALAH-MASALAH YANG TIMBUL AKIBAT INGKAR JANJI
  1. Tidak ada kepercayaan lagi pada orang yang mengingkari janji
  2. Tidak percaya kepada waktu yang ditentukan. Apabila waktu yang ditentukan itu adalah pukul delapan, maka tidak apa-apa kalau baru hadir pada jam sembilan atau jam sepuluh.
  3. Membuat orang komitmen menjadi luntur. Ketika seorang yang komitmen dengan waktunya melihat bahawa suatu kelompok telah menyelisihi janji dan tidak ada perhatian, maka hal ini bisa membuat orang yang komitmen tadi berubah menjadi tidak komitmen terhadap waktu. Ini masalah yang menular.
  4. Membuat satu pekerjaan tidak selesai dikerjakan pada waktunya.
JALAN KELUAR DARI MASALAH
  1. Tarbiyah Imaniyah yang kuat. Dibina keimanannya sejak dini dengan kokoh. Dengan keimanan yang kuat, orang tidak mudah berbohong. Harus ada pembiasaan sejak kecil lagi, karena ini masalah akhlak. Akhlak itu perlu disemai dan dipupuk sejak kecil. Tidak hanya cukup dengan slogan-slogan untuk menepati janji. Harus ada latihan yang nyata.
  2. Berterus-terang dan Tidak usah Basa-Basi. Langsung berterus-terang kalau kita tidak suka dengan cara dia yang tidak menepati janji. Memang pertama berat dilakukan, karena ada kemungkinan orang tersebut akan marah pada kita.
  3. Membuat sangsi mental yang sesuai. Misalnya yang terlambat datang tidak diizinkan masuk ruangan, dsb.
  4. Memuji orang yang tepat waktu.
  5. Harus ada contoh dari pemimpin.
  6. Komitmen untuk mulai acara pada saat yang ditentukan tanpa menunggu yang terlambat.
  7. Menentu waktu yang pasti untuk memulai acara. Misalnya acara dimulai jam 5.30 tepat, bukannya setelah sholat Ashar. Karena setelah sholat Ashar itu panjang waktunya hingga Maghrib.
  8. Berkomitmen dengan lamanya pertemuan. Jangan meninggalkan pertemuan di tengah jalan.
  9. Memberitahukan kalau tidak dapat menepati janji, jadi jangan sampai orang lain menunggu janji yang tidak akan terlaksana.
  10. Menyiapkan diri untuk memenuhi janji yang telah ditentukan
Di ringkas dari:

Hukum Janji Dalam Islam


 
Fenomena yang seringkali terjadi di tengah masyarakat adalah adanya sepasang kekasih yang memadu janji untuk saling memiliki dan nantinya akan membangun mahligai rumah tangga.

Hampir di setiap wilayah kehidupan kita mendapati adanya dua sejoli memadu kasih dan saling mengikat diri dengan janji-janji. Bahkan terkadang hal yang sama meski tidak terlalu vulgar, terjadi juga pada para aktifis dakwah. Barangkali karena frekuensi pertemuan di antara mereka yang lumayan sering, sehingga menimbulkan jenis perasaan tertentu yang sulit digambarkan.

Barangkali kondisi ini agak dilematis. Sebab di satu sisi mereka paham bahwa hubungan antara pria dan wanita itu terbatas, namun di sisi lain di dalam jiwa mereka yang masih muda ada perasaan yang mendorong untuk tertarik dengan sesama rekan aktifisnya yang lain jenis. Interaksi yang intensif dan tuntutan dinamika pergerakan terkadang ikut menyuburkan perasaan-perasaan `aneh` itu.

Maka istilah CBSA terdengar dengan singkatan Cinta Bersemi Setelah Aksi. Hubungan yang awalnya agak kaku, tertutup, terhijab mulai mencair dan terasa lebih melegakan. Namun terkadang ada kasus dimana keterbukaan itu tidak hanya berhenti sampai disitu, lebih jauh sampai kepada hal-hal yang lebih pribadi dan ujung-ujungnya adalah sebuah Janji Dan Sumpah Untuk Terus Bersama
Bagaimanakah syairat Islam memandang fenomena ini, khususnya janji antara dua sejoli untuk menikah? Adakah landasan syar`inya? Bisakah hal itu dibenarkan?
atau bagaimana hukum janji untuk saling menjaga dan selalu berbuat terbaik dan untuk selalu menyanggi dan bersumpah atas allah bahkan sumpah itu diatas qur an

I. Hukum Berjanji


Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah. Dasar dari wajibnya kita menunaikan janji yang telah kita berikan antara lain adalah :
a. Perintah Allah SWT dalam Al-Qurân Al-Karim

Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan.

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu . Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. An-Nahl : 91)

Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (An-Nal : 94)
b. Menunaikan Janji Adalah Ciri Orang Beriman

Allah menyebutkan dalam surat Al-Mu`minun tentang ciri-ciri orang beriman. Salah satunya yang paling utama adalah mereka yang memelihara amanat dan janji yang pernah diucapkannya.

Telah Beruntunglah orang-orang beriman, yaitu yang .. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya. (QS. Al-Mu`minun : 1-6).
c. Ingkar Janji Adalah Perbuatan Syetan

Ingkar janji itu merupakan sifat dan perbuatan syetan. Dan mereka menggunakan janji itu dalam rangka mengelabuhi manusia dan menarik mereka ke dalam kesesatan. Dengan menjual janji itu, maka syetan telah berhasil menangguk keuntungan yang sangat besar. Karena alih-alih melaksanakan janjinya, syetan justru akan merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya itu.

Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.(QS. An-Nisa : 120)
d. Ingkar Janji Adalah Sifat Bani Israil

Ingkar janji juga perintah Allah kepada Bani Israil, namun sayangnya perintah itu dilanggarnya dan mereka dikenal sebagai umat yang terbiasa ingkar janji. Hal itu diabadikan di dalam Al-Quran Al-Kariem.

Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku , niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut. (QS. Al-Baqarah : 40)
2. Janji Yang Mungkar

Namun janji itu hanya wajib ditunaikan manakala berbentuk sesuatu yang halal dan makruf. Sebaliknya bila janji itu adalah sesuatu yang mungkar, haram, maksiat atau hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam, maka janji itu adalah janji yang batil. Hukumnya menjadi haram untuk dilaksanakan.

Misalnya seseorang berjanji untuk berzina, minum khamar, mencuri, membunuh atau melakukan kemaksiatan lainnya, maka janji itu adalah janji yang mungkar. Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk melaksanakan janjinya itu. Meski pun ketika berjanji, dia mengucapkan nama Allah SWT atau sampai bersumpah. Sebab janji untuk melakukan kemungkaran itu hukumnya batal dengan sendirinya.

Dalam kasus tertentu, bila seseorang dipaksa untuk berjanji melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam, tidak ada kewajiban sama sekali baginya untuk menunaikannya. Misalnya, seorang prajurit muslim dan disiksa oleh lawan. Lalu sebagai syarat pembebasan hukumannya, dia dipaksa berjanji untuk tidak shalat atau mengerjakan perintah agama. Maka bila siksaan itu terasa berat baginya, dia diberi keringanan untuk menyatakan janji itu, namun begitu lepas dari musuh, dia sama sekali tidak punya kewajiban untuk melaksanakan janjinya itu. Sebab janji itu dengan sendirinya sudah gugur.

Dalam kasus Amar bin Yasir, hal yang sama juga terjadi dan Allah SWT memberikan keringanan kepadanya untuk melakukannya.

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl : 106)

II. Janjian Untuk Terus Bersama

Janji yang diucapkan oleh laki-laki yang berada dalam niat baik hanya untuk Allah dan dan benar untuk menghitbah bahkan terus mendekat pada Allah dengan banyak sholat dikir dan perbuatan-perbuatan yang lainnya dengan saksi Allah dan Al qur an maka itu hukumnya wajib dilaksanakan sebab itulah takdirnya sebab takmudah bersumpah kalau bukan benar-benar sudah siap, secara hukum Allah orang-orang yang sudah melakukan ini akan berbahagia dan tenang apa bila merka bersatu, tapi bila ada hubbuddiye dan merasa ada yang lebih baik lalu menghianatinya buka memperbaiki kesalahan dan memafin kesalahan maka mereka memlih kesengsaraan dan ketidak tengan.
Jadi di tengah jalan, wanita atau lelaki itu sha-sah saja bila menikah dengan orang lain dengan atau tanpa alasan apapun. Tapi dia harus menangung kutukan nas-nas karena janji dan sumpahnya. Apa lagi sang pembuat dan pemegang janji hanya tidak meras pacaran hanya karena menjalakan perintah Allah untuk salng megenal dan berkasih sayang, bukan karena nafsu .
apabila sang lelaki sudah mau menghitabah atau sang wanita sudah meminta dikhitbah dan sudah menyebut nama Allah sudaH melakukan tapi masih di beri waktu karena ada dikit halangan seperti sekolah agar bisa tenang dan sekolah terfokus pada pelajaran dan tidak mengangu sekolah dengan sering berjalan-jalan, maka wanita itu tidak boleh menerima lamaran orang lain, atau lelaki melamar orang lain Meski belum halal, tetapi paling tidak sudah berbentuk semi ikatan. Orang lain tidak boleh mengajukan lamaran pada wanita yang sedang dalam lamaran.

Janji Kita Adalah Hutang

JANJI bagaikan hutang. Begitu sebagian besar orang mengatakannya. Dan memang benar adanya, karena janji adalah akad, sebagaimana artinya berupa ikatan yang selalu bersifat mengikat antara kedua belah pihak, baik yang mengucap janji maupun yang menerima janji.
Hukum berjanji adalah mubah, sementara hukum menepati janji adalah wajib, sehingga melanggar janji berarti suatu keharaman. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS: Al-Ma’idah: 1)

Ibnu ‘Abbas, mujahid dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan akad adalah perjanjian.”
Ibnu Jarir pun menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan, ”Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”
Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, “Yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalalkan dan diharamkan Allah, yang difardhukan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an secara keseluruhan, maka kalian jangan mengkhianati dan melanggarnya.”
Selanjutnya menurut Ibnu ‘Abbas tentang menepati janji berdasarkan surat Al-Ma’idah ayat 1 adalah sebagai berikut, “Hal itu menunjukkan keharusan berpegang dan menepati janji, dan hal itu menuntut dihilangkannya hak pilih dalam jual beli.”
Dari sini, melanggar janji adalah haram. Sebagaimana Allah berfirman:

وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ اللّهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu sudah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS: An-Nahl: 91)
Contoh janji yang ada dalam kehidupan sehari-hari adalah:

1. Besok kita ketemu di depan gerbang kampus pukul 10.00 WIB ya?
2. “Adek besok kalau gak nakal saya belikan coklat”
3. Akad dalam pernikahan dan jual beli
4. Akad dalam sebuah acara: rapat, agenda dakwah, dan belajar bersama (misal ditentukan pukul 09.00 berarti harus datang sesuai dengan kesepakatan. Kecuali memang ada udzur syar’i)
5. Akad dalam sebuah instansi tempat bekerja (misal harus berpakaian rapi, tidak boleh telat, dan tidak diperbolehkan ijin kecuali dalam kondisi mendesak)
6. Akad dalam syahadat dll.
Janji boleh tidak ditepati jika dalam kondisi berikut ini:
Pertama, janji tersebut termasuk janji yang tidak diperbolehkan syariat Islam, misal janji untuk membolos, janji untuk bekerja sama dalam mengerjakan soal ujian sekolah, transaksi-transaksi haram, dll. Hal ini berdasarkan kaidah syara’ : “Setiap sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram, maka hukumnya haram.”
Kedua, terdapat hal yang lebih baik dibandingkan dengan sumpah atau janji yang dibuatnya. Dalam hal ini berarti janji yan dibuatnya berupa janji untuk melakukan suatu hal yang sifatnya mubah atau sunnah, kemudian dalam satu waktu ada kewajiban yang harus ditunaikan. Membatalkan janji yang seperti ini diperbolehkan oleh syara’.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya insyaallah, aku tidak akan bersumpah atas suatu sumpah, lalu aku melihat yang lainnya lebih baik darinya melainkan aku akan memilih yang lebih baik dan aku membayar kaffaratnya – dalam sebuah riwayat disebutkan – dan aku membayar kaffarat atas sumpahku itu”
Ketiga, sakit, pingsan, dan dalam kondisi yang tubuh tidak mampu untuk menunaikan janji.
Keempat, mendadak hilang akal.
Kelima, cuaca ekstrim, hujan lebat, hujan badai, panas menyengat hingga membuat sakit kepala, hujan salju.
Keenam, ada kerabat yang meninggal, menjaga saudara/orang tua/istri yang sakit mendadak, dan hal semisal.
Jika tidak dalam kondisi di atas, maka membatalkan kesepakatan ataupun janji adalah hal tidak diperbolehkan. Karena membatalakan ataupun melanggarnya bisa melukai hati orang lain hingga bisa mendzalimi orang lain.

وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“… dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 57).
Dari penjelasan di atas, maka tidak diperkenan bagi kita untuk seenaknya melanggar janji yang sudah kita ucapkan. Meremehkannya sama halnya meremehkan hukum syara’, bahkan sama halnya meremehkan kewajiban itu sendiri. Allah pun menyebut orang-orang yang tidak menjaga amanah dan tidak menepati janji memiliki tanda-tanda orang munafik.
“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga keadaan. Jika ia berkata ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Oleh karena itu, hati-hati dengan janji yang terucap, sumpah yang terlafadz, dan akad muamalah lainnya yang sudah ditetapkan. Karena bisa jadi dari sumpah-sumpah yang kita ucapkan dan tidak kita tunaikan tersebut kita tuai dosa besar. Wallahu ‘alam bi ash shawwab.*/

Sabtu, 07 Mei 2016

Hasud

Allah Swt berfirman, "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 109)

Hasud bermakna keinginan untuk menghancurkan nikmat yang dimiliki orang lain yang terkadang dibarengi dengan usaha untuk menghilangkan nikmat itu.
Dengan mencermati ayat-ayat yang berbicara tentang sifat tidak baik tentang orang atau kelompok, kita dapat memahami peringatan al-Quran terkait sifat yang satu ini. Termasuk ayat yang membahas masalah ini adalah ayat 109 surat al-Baqarah yang menjelaskan bagaimana di awal ayat sebagian Ahli Kitab diperkenalkan memiliki sifat hasud dalam dirinya dan berharap umat Islam setelah beriman kembali menjadi kafir. Sejatinya, sifat hasud mereka telah mencapai puncaknya, sehingga mayoritas Ahli Kitab berharap selain mereka tidak beriman dan menjadi kafir.
Dalam surat an-Nisa ayat 54 juga seperti ayat sebelumnya yang menceritakan sebagian perilaku buruk Ahli Kitab. Allah Swt berfirman, "Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? ..."
Di ayat ini, Allah Swt menggunakan kalimat dengan nada bertanya yang maknanya adalah mencela mereka dan memperingatkan Nabi Muhammad Saw dan umat Islam tentang kedengkian dan hasud Ahli Kitab.
Dalam kisah Habil dan Qabil yang diceritakan dalam surat al-Maidah(1), sifat hasud dan dengki seorang saudara kepada saudara lainnya akhirnya berujung pada pembunuhan(2) yang termasuk dosa besar, dimana Allah Swt menjanjikan azab abadi kepada pelakunya. Pada hakikatnya, ayat-ayat ini dan ayat 109 surat al-Baqarah memberikan isyarat yang berisikan peringatan bahwa sifat hasud bakal berujung pada perbuatan mengerikan seperti pembunuhan atau menumbuhkan harapan agar orang lain menjadi sesat. Dengan demikian, hasud merupakan satu dari sumber utama dari kebanyakan perilaku buruk manusia.(3)
Dalam banyak riwayat tentang hasud telah diperingatkan secara serisu tentang dampak buruknya, termasuk hasud itu disebut sebagai asal kekufuran bagi orang yang memiliki sifat ini(4) dan nasib orang yang hasud hanyalah menyesali perbuatan serta membuat dosa menjadi berkali-kali lipat.(5) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Catatan:
1. Lihat surat al-Maidah ayat 30, "Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi."
2. Dalam riwayat dari Imam Shadiq as menyebut hasud sebagai sumber dari kejahatan yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya Habil. (Abi an-Nadhr Muhammad bin Mas'ud al-Ayyasyi, Tafsir al-Ayyasyi, Tehran, al-Maktabah al-Alamiyah, jilid 1, hal 312)
3. Akhlak dar Quran, jilid 2, hal 119.
4. Bihar al-Anwar, jilid 78, hal 217.
5. Mizan al-Hikmah, jilid 2, hal 425.

HASUD ADALAH PENYAKIT HATI


.
Hasud adalah rasa atau sikap tidak senang terhadap kehormatan (kenikmatan) yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakakan orang lain.
Mari kita simak dg IMAN Kalam ALLAH ini,
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yg dikaruniakan ALLAH kpd sebagian kamu lebih byk dari sebagian lain. Krn bagi laki laki ada bagian dari apa yg mrk usahakan, & bagi para wanitapun ada bagian dari apa yg mrk usahakan” (QS 4:32)
Rasulullah bersabda,
Dengki itu memakan kebaikan sebagaimn api yang membakar kayu

|
Hasud itu iri terhadap orang lain, lalu diapun berusaha menjatuhkan kehormatan dengan berbagai cara, dari :
  • Mengintai keburukannya,
  • Mempergunjingnya,
  • Menebar fitnah,
  • Ssampai syirik kedukunpun dilakukan,
  • Bahkan sampai membunuh.
Kisah lucu monyet yang dengki kepada burung gagak. Monyet berusaha meloncati buah anggur, tetap tidak berhasil, sementara burung gagak denagn mudah meraihnya, dengan kesal monyet keliling hutan sambil berteriak, “Anggur Pahit Asem”, padahal karena yang diinginkannya tidak tercapai.
Hasud adalah penyakit hati yang membuat tubuhnya juga sakit, berasal dari cinta dunia, sombong merasa dirinya lebih hebat & sifat munafik karena cintanya pada dunia.
ALLAH mengajarkan hamba2NYA beriman agar terhindar dari penyakit dengki & selamat dari pendengki dalam surah Al Falaq,
Min syarri haasidin idzaa hasad Ya ALLAH, kami mohon perlindunganMU dari sifat hasud & orang-orang yang hasud
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah kembali memberikan pelajaran berharga mengenai penyakit hasad. Iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- berarti menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain.
Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Hasad seperti inilah yang tercela.
Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat pada orang lain itu hilang, maka ini tidak mengapa.  Hasad model kedua ini disebut ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi.
Beliau, Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan keterangan yang amat bagus. Penyakit hasad atau iri adalah penyakit yang akan menjangkiti setiap orang. Maka tentu saja setiap orang mesti waspada.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Sesungguhnya hasad adalah di antara penyakit hati. Inilah penyakit keumuman manusia. Tidak ada yang bisa lepas darinya kecuali sedikit sekali. Oleh karena itu ada yang mengatakan
مَا خَلَا جَسَدٌ مِنْ حَسَدٍ لَكِنَّ اللَّئِيمَ يُبْدِيهِ وَالْكَرِيمَ يُخْفِيهِ
Setiap jasad tidaklah bisa lepas dari yang namanya hasad (iri). Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia (hatinya) akan menyembunyikannya.
Ada yang bertanya pada Al Hasan Al Bashri,
Apakah orang beriman itu bisa hasad (iri)?
Tidakkah engkau perhatikan bagaimana kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya?”, jawab beliau.
Jadi selama hasad itu tidak ditampakkan pada tangan dan lisan, maka itu tidak membahayakanmu.  Barangsiapa yang mendapati pada dirinya penyakit ini (yaitu hasad), maka hiasilah dirinya dengan takwa dan sabar, serta hendaklah ia membenci sifat hasad tersebut pada dirinya.
Lihatlah bagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah. Intinya, inilah penyakit yang menjangkiti setiap insan. Tugas kita adalah selalu hiasi diri dengan sabar dan takwa.
Sabar akan mengatasi seseorang tidak berkeluh kesah, tidak bertindak sewenang-wenang dengan tangan dan lisannya atau anggota badan lainnya ketika ia iri pada yang lain. Sedangkan takwa akan menunjukinya bagaimanakah semestinya memahami takdir dan ketentuan Allah.

Tiga istilah penyakit hati

~~  Hasud  ~~

Adalah rasa atau sikap tidak senang terhadap kehormatan (kenikmatan) yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakkannyaorang lain.
Seorang yang beriman kepada qada dan qadar tentu tidak akan bersikap dengki kepada orang lain yang mempunyai kelebihan karena ia menyadari bahwa hal itu merupakan kehendak dan kekuasaan Allah Swt.
Setiap muslim / muslimah wajib hukumnya menjauhi sifat hasud (dengki) karena hasud termasuk sifat tercela dan merupakan perbuatan dosa. Firman Allah:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikarunkan Allah kepada sebahagiankamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” (Q.S. An-nisa, 4:32)
Rasulallah Saw bersabda:
“Janganlah kamu saling mendengki, saling memutuskan hubungan, saling benci membenci, dan saling belakang membelakangi yang tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu.”
Adapun kerugian atau bahaya yang ditimbulkan oleh sifat hasud antara lain:
  • Dapat merusak IMAN yang hasud.
  • Dapat memutuskan hubungan persaudaraan dan menghapus segala kebaikan yang pernah dilaksanakan. TALI SILATURAHIM
  • Dapat menimbulkan kerugian atau bencana baik bagi pendengki maupun orang yang didengki. Itulah sebabnya di dalam Alquran surat Al-Falaq, 1, 2 dan 5, orang orang diperintah untuk mohon perlindungan kepada Allah SWT dari kejahatan pendengki apabila mendengki (HASUD).
Dapat merusak mental (hati) pendengki itu sendiri, sehingga kehidupan merasa gelisah dan tidak memperolah ketentraman.

~~  Riya  ~~

Adalah memperlihatkan suatu ibadah dan amal shaleh kepada orang lain bukan karena Allah, karena sesuatu selain Allah.
Sedangkan mendengarkan ucapan ibadah dan amal saleh kepada orang lain dengan maksud kepada riya’ disebut sum’ah. Riya dan sum’ah termasuk perilaku tercela, syirik kecil yang hukumnya haram dan harus dijauhi oleh setiap muslim(muslimah).
Rasulallah bersabda:
Sesungguhnya yang sangat aku takutkan yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi Saw ditanya tentang apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu maka beliau menjawab; yaitu Riya” (H.R. Ahmad)
Riya dalam urusan keagamaan, misalkan:
  • Seseorang mempercayakannya kepada kebenaran agama islam dan seluruh ajarannya, padahal hatinya sebenarnya tidak percaya. Ia memperlihatkan kepercayaannya itu bukan karena Allah tetapi karena ingin memperoleh pujian dan keuntungan duniawi. Ia termasuk orang MUNAFIK
  • Seseorang melakukan salat berjamaah di mesjid dengan maksud bukan ingin memperoleh keridaan Allah Swt, tetapi agar mendapat penilaian dari masyarakat sebagai muslim yang taat, orang seperti itu kalau berada sendirian biasanya tidak mau mengerjakan salat.
Riya dalam urusan keduniaan misalnya:
  • Seseorang memperlihatkan kesungguhan dan kedisiplinannya dalam bekerja kepada atasannya, dengan tidak dilandasi nilai ikhlas kepada Allah Swt, karena ingin dinilai baik oleh atasannya, lalu pangkatnya atau gajinya dinaikan. Orang sebenarnya ini bila pangkatnya atau gajinya tidak naik tentu kerjanya akan bermalas-malas.
Adapun kerugian atau bencana akibat riya antara lain:
  • Para pejabat yang bermental jahat, apabila suka bersikap dan berperilaku riya’, tentu akan melakukan perbuatan yang merugikan rakyat, seperti korupsi. Orang-orang yang riya dibidang kepercayaan dan keimanaan, sebenarnya merupakan orang-orang munafik yang pada suatu saat akan menodai kesucian islam dan mencelakakan kaum muslimin.
  • Seseorang yang beribadah dan beramal saleh tidak berlandaskan dengan niat karena Allah Swt, tetapi tujuannya hanya untuk kemsyuran atau keuntungan dunia, maka di alam akhirat kelak ia akan dicampakan ke dalam neraka.

~~  Aniaya  ~~

Adalah bersikap dan berperilaku tidak adil aniaya atau bengis yaitu suatu tindakan yang tidak manusiawi yang bertentangan dengan hak sesama manusia.
Firman Allah Swt,
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim
Sifat aniaya atau zalim dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
  • Aniaya kepada Allah SWT dengan cara tidak mau melaksanakan perintah Allah yang wajib, dan tidak meninggalkan larangan Allah yang haram.
  • Aniaya terhadap sesama manusia seperi ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), fitnah, mencuri, merampok, melakukan peniksaan, dan melakukan pembunuhan.
  • Aniyaya terhadap binatang misalnya menjadikan binatang sebagai sasaran latihan memanah atau menembak, menelantarkan binatang peliharaan dan menyembelih hewan dengan senjata yang tumpul.
  • Aniyaya terhadap diri sendiri, misalnya: membiarkan diri sendiri dalam keadaan bodoh dan miskin, karena malas, meminum minuman keras, menyalah gunakan obat-obat terlarang, menyiksa diri sendiri, dan bunuh diri.
Keburukan-keburukan perbuatan aniyaya dapat menimpa pelaku, orang yang dianiaya dan masyarakat.  Keburukan-keburukan yang akan dialami oleh penganiaya antara lain:
  • Tidak akan disenangi bahkan akan dibenci masyarakat.
  • Hidupnya tidak akan tenang, karena dibayangi rasa takut.
  • Memcemarkan nama baik dirinya dan keluarganya
Keburukan-keburukan yang akan dialami oleh orang yang dianiaya dan masyarakat antara lain:
  • Orang yang dianiaya akan mengalami kerugian dan bencana sesuai dengan jenis penganiayan terhadap dirinya, misalnya: kehilangan harta benda, menderita sakit fisik dan memtal bahkan sampai kehilangan jwa.
  • Bila penganiaya itu terjadi dimana-mana maka masyarakat tidak akan memperoleh kedamaian dan ketentraman.
  • Semangat dan gairah kerja masyarakat akan menurun, karena mereka dibanyangi rasa takut terhadap perbutan-perbuatan orang zalim.
HASAD DENGKI, kita tentu sudah sangat familiar dengan kata-kata tersebut. Bahkan dulu mungkin sewaktu pelajaran agama SD , kita sering memilih sifat tercela yang satu ini ketika diminta menuliskan contoh sifat tercela.
Hasad dengki sering disebut juga dengki atau iri dan hasad. Untuk mendiagnosis gejala penyakit hasad dengki ini sebenarnya cukup simpel, yaitu dengan cukup bertanya kepada diri kita, apakah kita termasuk orang yang senang lihat orang susah dan susah lihat orang senang?
Nah, apabila di dalam hati kita terdapat tanda-tanda atau sifat diatas itu maka boleh jadi kita termasuk orang yang sedang terjangkit penyakit Hasad Dengki, sebuah penyakit diantara sekian banyak penyakit ruhani yang amat berbahaya.
Kita mesti segera mencari obatnya, sebab kalau kita kekalkan penyakit ini di dalam hati, maka kita takut tidak selamat di dunia terlebih di akhirat.
Tetapi sayang hingga saat ini belum ada Rumah Sakit Spesialis Penyakit Hasad Dengki. Berarti ya kita mesti cari dokter ruhani alias Mursyid yang dapat mengobati penyakit hati hati kita..
Hampir setiap orang menderita penyakit hasad dengki ini, cuma bedanya banyak atau sedikit, bertindak atau tidak. Dalam sebuah hadis disebutkan tentang enam golongan manusia yang dicampakkan ke dalam neraka, satu diantaranya adalah orang atau ulama yang di dalam hatinya terdapat hasad dengki.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
sesungguhnya hasad dengki itu memakan kebaikan seperti mana api memakan kayu bakar
Orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit hasad dengki ini, hidupnya tidak akan pernah bahagia, jiwanya senantiasa menderita dan tersiksa. Hatinya selalu tersiksa jika melihat orang lain lebih dari dirinya atau mendapat nikmat serta kejayaan. Dan sebaliknya dia akan bergembira bila orang lain susah dan gagal.
Maka dari itu, hasad dengki inilah penyakit kronis yang merusak perpaduan dan ukhuwah. Akan timbul di dalam masyarakat fitnah memfitnah, dendam mendendam, buruk sangka,mengumpat, mengadu domba, dan dosa-dosa lain yang akan menghapuskan segala kebaikan.
Seseorang yang melayani sifat hasad dengkinya, maka pada hakikatnya dia adalah orang yang paling biadab dengan Allah, sebab secara tidak langsung dia benci kepada Allah, dia tidak redha pada apa yang Allah telah berikan kepada orang lain serta kepada dirinya.Sekalipun ibadahnya banyak, tahajudnya banyak dan shalatnya banyak.
Dalam sebuah kisah para Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW,
Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang wanita yang berpuasa siang hari dan shalat tahajud di malam harinya, tetapi selalu menyakiti tetangganya dengan lidahnya
Jawab baginda Rasulullah SAW :
Tidak ada kebaikan lagi baginya, ia adalah ahli neraka
Tips yang mesti kita lakukan sebagai mujahadah terhadap hasad dengki ialah :
  • Setiap kali orang yang kita dengki mendapat kejayaan, maka kita ucapkan selamat kepadanya. Dan sebaliknya apabila dia tertimpa kesusahan maka kita menumpang sedih juga atas apa yang menimpanya serta menghiburnya.
  • Sanjung, sebut dan pujilah kebaikan serta keistimewaan orang yang kita dengki di belakang dia, dan kalau ada keburukannya kita rahasiakan. Doakan kebaikan untuknya.
  • Sering-sering bersilaturahmi serta memberi hadiah kepada orang yang kita dengki tersebut.