Sabtu, 07 Mei 2016

Hasud

Allah Swt berfirman, "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Baqarah: 109)

Hasud bermakna keinginan untuk menghancurkan nikmat yang dimiliki orang lain yang terkadang dibarengi dengan usaha untuk menghilangkan nikmat itu.
Dengan mencermati ayat-ayat yang berbicara tentang sifat tidak baik tentang orang atau kelompok, kita dapat memahami peringatan al-Quran terkait sifat yang satu ini. Termasuk ayat yang membahas masalah ini adalah ayat 109 surat al-Baqarah yang menjelaskan bagaimana di awal ayat sebagian Ahli Kitab diperkenalkan memiliki sifat hasud dalam dirinya dan berharap umat Islam setelah beriman kembali menjadi kafir. Sejatinya, sifat hasud mereka telah mencapai puncaknya, sehingga mayoritas Ahli Kitab berharap selain mereka tidak beriman dan menjadi kafir.
Dalam surat an-Nisa ayat 54 juga seperti ayat sebelumnya yang menceritakan sebagian perilaku buruk Ahli Kitab. Allah Swt berfirman, "Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? ..."
Di ayat ini, Allah Swt menggunakan kalimat dengan nada bertanya yang maknanya adalah mencela mereka dan memperingatkan Nabi Muhammad Saw dan umat Islam tentang kedengkian dan hasud Ahli Kitab.
Dalam kisah Habil dan Qabil yang diceritakan dalam surat al-Maidah(1), sifat hasud dan dengki seorang saudara kepada saudara lainnya akhirnya berujung pada pembunuhan(2) yang termasuk dosa besar, dimana Allah Swt menjanjikan azab abadi kepada pelakunya. Pada hakikatnya, ayat-ayat ini dan ayat 109 surat al-Baqarah memberikan isyarat yang berisikan peringatan bahwa sifat hasud bakal berujung pada perbuatan mengerikan seperti pembunuhan atau menumbuhkan harapan agar orang lain menjadi sesat. Dengan demikian, hasud merupakan satu dari sumber utama dari kebanyakan perilaku buruk manusia.(3)
Dalam banyak riwayat tentang hasud telah diperingatkan secara serisu tentang dampak buruknya, termasuk hasud itu disebut sebagai asal kekufuran bagi orang yang memiliki sifat ini(4) dan nasib orang yang hasud hanyalah menyesali perbuatan serta membuat dosa menjadi berkali-kali lipat.(5) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Catatan:
1. Lihat surat al-Maidah ayat 30, "Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi."
2. Dalam riwayat dari Imam Shadiq as menyebut hasud sebagai sumber dari kejahatan yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya Habil. (Abi an-Nadhr Muhammad bin Mas'ud al-Ayyasyi, Tafsir al-Ayyasyi, Tehran, al-Maktabah al-Alamiyah, jilid 1, hal 312)
3. Akhlak dar Quran, jilid 2, hal 119.
4. Bihar al-Anwar, jilid 78, hal 217.
5. Mizan al-Hikmah, jilid 2, hal 425.

HASUD ADALAH PENYAKIT HATI


.
Hasud adalah rasa atau sikap tidak senang terhadap kehormatan (kenikmatan) yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakakan orang lain.
Mari kita simak dg IMAN Kalam ALLAH ini,
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yg dikaruniakan ALLAH kpd sebagian kamu lebih byk dari sebagian lain. Krn bagi laki laki ada bagian dari apa yg mrk usahakan, & bagi para wanitapun ada bagian dari apa yg mrk usahakan” (QS 4:32)
Rasulullah bersabda,
Dengki itu memakan kebaikan sebagaimn api yang membakar kayu

|
Hasud itu iri terhadap orang lain, lalu diapun berusaha menjatuhkan kehormatan dengan berbagai cara, dari :
  • Mengintai keburukannya,
  • Mempergunjingnya,
  • Menebar fitnah,
  • Ssampai syirik kedukunpun dilakukan,
  • Bahkan sampai membunuh.
Kisah lucu monyet yang dengki kepada burung gagak. Monyet berusaha meloncati buah anggur, tetap tidak berhasil, sementara burung gagak denagn mudah meraihnya, dengan kesal monyet keliling hutan sambil berteriak, “Anggur Pahit Asem”, padahal karena yang diinginkannya tidak tercapai.
Hasud adalah penyakit hati yang membuat tubuhnya juga sakit, berasal dari cinta dunia, sombong merasa dirinya lebih hebat & sifat munafik karena cintanya pada dunia.
ALLAH mengajarkan hamba2NYA beriman agar terhindar dari penyakit dengki & selamat dari pendengki dalam surah Al Falaq,
Min syarri haasidin idzaa hasad Ya ALLAH, kami mohon perlindunganMU dari sifat hasud & orang-orang yang hasud
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah kembali memberikan pelajaran berharga mengenai penyakit hasad. Iri, dengki atau hasad –istilah yang hampir sama- berarti menginginkan hilangnya nikmat dari orang lain.
Asal sekedar benci orang lain mendapatkan nikmat itu sudah dinamakan hasad, itulah iri. Hasad seperti inilah yang tercela.
Adapun ingin agar semisal dengan orang lain, namun tidak menginginkan nikmat pada orang lain itu hilang, maka ini tidak mengapa.  Hasad model kedua ini disebut ghibthoh. Yang tercela adalah hasad model pertama tadi.
Beliau, Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan keterangan yang amat bagus. Penyakit hasad atau iri adalah penyakit yang akan menjangkiti setiap orang. Maka tentu saja setiap orang mesti waspada.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Sesungguhnya hasad adalah di antara penyakit hati. Inilah penyakit keumuman manusia. Tidak ada yang bisa lepas darinya kecuali sedikit sekali. Oleh karena itu ada yang mengatakan
مَا خَلَا جَسَدٌ مِنْ حَسَدٍ لَكِنَّ اللَّئِيمَ يُبْدِيهِ وَالْكَرِيمَ يُخْفِيهِ
Setiap jasad tidaklah bisa lepas dari yang namanya hasad (iri). Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia (hatinya) akan menyembunyikannya.
Ada yang bertanya pada Al Hasan Al Bashri,
Apakah orang beriman itu bisa hasad (iri)?
Tidakkah engkau perhatikan bagaimana kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya?”, jawab beliau.
Jadi selama hasad itu tidak ditampakkan pada tangan dan lisan, maka itu tidak membahayakanmu.  Barangsiapa yang mendapati pada dirinya penyakit ini (yaitu hasad), maka hiasilah dirinya dengan takwa dan sabar, serta hendaklah ia membenci sifat hasad tersebut pada dirinya.
Lihatlah bagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah. Intinya, inilah penyakit yang menjangkiti setiap insan. Tugas kita adalah selalu hiasi diri dengan sabar dan takwa.
Sabar akan mengatasi seseorang tidak berkeluh kesah, tidak bertindak sewenang-wenang dengan tangan dan lisannya atau anggota badan lainnya ketika ia iri pada yang lain. Sedangkan takwa akan menunjukinya bagaimanakah semestinya memahami takdir dan ketentuan Allah.

Tiga istilah penyakit hati

~~  Hasud  ~~

Adalah rasa atau sikap tidak senang terhadap kehormatan (kenikmatan) yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya atau mencelakkannyaorang lain.
Seorang yang beriman kepada qada dan qadar tentu tidak akan bersikap dengki kepada orang lain yang mempunyai kelebihan karena ia menyadari bahwa hal itu merupakan kehendak dan kekuasaan Allah Swt.
Setiap muslim / muslimah wajib hukumnya menjauhi sifat hasud (dengki) karena hasud termasuk sifat tercela dan merupakan perbuatan dosa. Firman Allah:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikarunkan Allah kepada sebahagiankamu lebih banyak dari sebahagian yang lain” (Q.S. An-nisa, 4:32)
Rasulallah Saw bersabda:
“Janganlah kamu saling mendengki, saling memutuskan hubungan, saling benci membenci, dan saling belakang membelakangi yang tetapi jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu.”
Adapun kerugian atau bahaya yang ditimbulkan oleh sifat hasud antara lain:
  • Dapat merusak IMAN yang hasud.
  • Dapat memutuskan hubungan persaudaraan dan menghapus segala kebaikan yang pernah dilaksanakan. TALI SILATURAHIM
  • Dapat menimbulkan kerugian atau bencana baik bagi pendengki maupun orang yang didengki. Itulah sebabnya di dalam Alquran surat Al-Falaq, 1, 2 dan 5, orang orang diperintah untuk mohon perlindungan kepada Allah SWT dari kejahatan pendengki apabila mendengki (HASUD).
Dapat merusak mental (hati) pendengki itu sendiri, sehingga kehidupan merasa gelisah dan tidak memperolah ketentraman.

~~  Riya  ~~

Adalah memperlihatkan suatu ibadah dan amal shaleh kepada orang lain bukan karena Allah, karena sesuatu selain Allah.
Sedangkan mendengarkan ucapan ibadah dan amal saleh kepada orang lain dengan maksud kepada riya’ disebut sum’ah. Riya dan sum’ah termasuk perilaku tercela, syirik kecil yang hukumnya haram dan harus dijauhi oleh setiap muslim(muslimah).
Rasulallah bersabda:
Sesungguhnya yang sangat aku takutkan yang akan menimpa kamu ialah syirik kecil. Nabi Saw ditanya tentang apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu maka beliau menjawab; yaitu Riya” (H.R. Ahmad)
Riya dalam urusan keagamaan, misalkan:
  • Seseorang mempercayakannya kepada kebenaran agama islam dan seluruh ajarannya, padahal hatinya sebenarnya tidak percaya. Ia memperlihatkan kepercayaannya itu bukan karena Allah tetapi karena ingin memperoleh pujian dan keuntungan duniawi. Ia termasuk orang MUNAFIK
  • Seseorang melakukan salat berjamaah di mesjid dengan maksud bukan ingin memperoleh keridaan Allah Swt, tetapi agar mendapat penilaian dari masyarakat sebagai muslim yang taat, orang seperti itu kalau berada sendirian biasanya tidak mau mengerjakan salat.
Riya dalam urusan keduniaan misalnya:
  • Seseorang memperlihatkan kesungguhan dan kedisiplinannya dalam bekerja kepada atasannya, dengan tidak dilandasi nilai ikhlas kepada Allah Swt, karena ingin dinilai baik oleh atasannya, lalu pangkatnya atau gajinya dinaikan. Orang sebenarnya ini bila pangkatnya atau gajinya tidak naik tentu kerjanya akan bermalas-malas.
Adapun kerugian atau bencana akibat riya antara lain:
  • Para pejabat yang bermental jahat, apabila suka bersikap dan berperilaku riya’, tentu akan melakukan perbuatan yang merugikan rakyat, seperti korupsi. Orang-orang yang riya dibidang kepercayaan dan keimanaan, sebenarnya merupakan orang-orang munafik yang pada suatu saat akan menodai kesucian islam dan mencelakakan kaum muslimin.
  • Seseorang yang beribadah dan beramal saleh tidak berlandaskan dengan niat karena Allah Swt, tetapi tujuannya hanya untuk kemsyuran atau keuntungan dunia, maka di alam akhirat kelak ia akan dicampakan ke dalam neraka.

~~  Aniaya  ~~

Adalah bersikap dan berperilaku tidak adil aniaya atau bengis yaitu suatu tindakan yang tidak manusiawi yang bertentangan dengan hak sesama manusia.
Firman Allah Swt,
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim
Sifat aniaya atau zalim dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
  • Aniaya kepada Allah SWT dengan cara tidak mau melaksanakan perintah Allah yang wajib, dan tidak meninggalkan larangan Allah yang haram.
  • Aniaya terhadap sesama manusia seperi ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), fitnah, mencuri, merampok, melakukan peniksaan, dan melakukan pembunuhan.
  • Aniyaya terhadap binatang misalnya menjadikan binatang sebagai sasaran latihan memanah atau menembak, menelantarkan binatang peliharaan dan menyembelih hewan dengan senjata yang tumpul.
  • Aniyaya terhadap diri sendiri, misalnya: membiarkan diri sendiri dalam keadaan bodoh dan miskin, karena malas, meminum minuman keras, menyalah gunakan obat-obat terlarang, menyiksa diri sendiri, dan bunuh diri.
Keburukan-keburukan perbuatan aniyaya dapat menimpa pelaku, orang yang dianiaya dan masyarakat.  Keburukan-keburukan yang akan dialami oleh penganiaya antara lain:
  • Tidak akan disenangi bahkan akan dibenci masyarakat.
  • Hidupnya tidak akan tenang, karena dibayangi rasa takut.
  • Memcemarkan nama baik dirinya dan keluarganya
Keburukan-keburukan yang akan dialami oleh orang yang dianiaya dan masyarakat antara lain:
  • Orang yang dianiaya akan mengalami kerugian dan bencana sesuai dengan jenis penganiayan terhadap dirinya, misalnya: kehilangan harta benda, menderita sakit fisik dan memtal bahkan sampai kehilangan jwa.
  • Bila penganiaya itu terjadi dimana-mana maka masyarakat tidak akan memperoleh kedamaian dan ketentraman.
  • Semangat dan gairah kerja masyarakat akan menurun, karena mereka dibanyangi rasa takut terhadap perbutan-perbuatan orang zalim.
HASAD DENGKI, kita tentu sudah sangat familiar dengan kata-kata tersebut. Bahkan dulu mungkin sewaktu pelajaran agama SD , kita sering memilih sifat tercela yang satu ini ketika diminta menuliskan contoh sifat tercela.
Hasad dengki sering disebut juga dengki atau iri dan hasad. Untuk mendiagnosis gejala penyakit hasad dengki ini sebenarnya cukup simpel, yaitu dengan cukup bertanya kepada diri kita, apakah kita termasuk orang yang senang lihat orang susah dan susah lihat orang senang?
Nah, apabila di dalam hati kita terdapat tanda-tanda atau sifat diatas itu maka boleh jadi kita termasuk orang yang sedang terjangkit penyakit Hasad Dengki, sebuah penyakit diantara sekian banyak penyakit ruhani yang amat berbahaya.
Kita mesti segera mencari obatnya, sebab kalau kita kekalkan penyakit ini di dalam hati, maka kita takut tidak selamat di dunia terlebih di akhirat.
Tetapi sayang hingga saat ini belum ada Rumah Sakit Spesialis Penyakit Hasad Dengki. Berarti ya kita mesti cari dokter ruhani alias Mursyid yang dapat mengobati penyakit hati hati kita..
Hampir setiap orang menderita penyakit hasad dengki ini, cuma bedanya banyak atau sedikit, bertindak atau tidak. Dalam sebuah hadis disebutkan tentang enam golongan manusia yang dicampakkan ke dalam neraka, satu diantaranya adalah orang atau ulama yang di dalam hatinya terdapat hasad dengki.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
sesungguhnya hasad dengki itu memakan kebaikan seperti mana api memakan kayu bakar
Orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit hasad dengki ini, hidupnya tidak akan pernah bahagia, jiwanya senantiasa menderita dan tersiksa. Hatinya selalu tersiksa jika melihat orang lain lebih dari dirinya atau mendapat nikmat serta kejayaan. Dan sebaliknya dia akan bergembira bila orang lain susah dan gagal.
Maka dari itu, hasad dengki inilah penyakit kronis yang merusak perpaduan dan ukhuwah. Akan timbul di dalam masyarakat fitnah memfitnah, dendam mendendam, buruk sangka,mengumpat, mengadu domba, dan dosa-dosa lain yang akan menghapuskan segala kebaikan.
Seseorang yang melayani sifat hasad dengkinya, maka pada hakikatnya dia adalah orang yang paling biadab dengan Allah, sebab secara tidak langsung dia benci kepada Allah, dia tidak redha pada apa yang Allah telah berikan kepada orang lain serta kepada dirinya.Sekalipun ibadahnya banyak, tahajudnya banyak dan shalatnya banyak.
Dalam sebuah kisah para Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW,
Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang wanita yang berpuasa siang hari dan shalat tahajud di malam harinya, tetapi selalu menyakiti tetangganya dengan lidahnya
Jawab baginda Rasulullah SAW :
Tidak ada kebaikan lagi baginya, ia adalah ahli neraka
Tips yang mesti kita lakukan sebagai mujahadah terhadap hasad dengki ialah :
  • Setiap kali orang yang kita dengki mendapat kejayaan, maka kita ucapkan selamat kepadanya. Dan sebaliknya apabila dia tertimpa kesusahan maka kita menumpang sedih juga atas apa yang menimpanya serta menghiburnya.
  • Sanjung, sebut dan pujilah kebaikan serta keistimewaan orang yang kita dengki di belakang dia, dan kalau ada keburukannya kita rahasiakan. Doakan kebaikan untuknya.
  • Sering-sering bersilaturahmi serta memberi hadiah kepada orang yang kita dengki tersebut.

Awas Nifak! Jangan Ingkar Janji

Jangan mudah berjanji. Janji itu utang. Al-Wa’du Daniun. Begitu kata pepatah Arab. Karenanya, janji wajib ditepati, seperti halnya utang wajib dibayar.
“Dan tunaikanlah janji kalian. Sungguh, janji itu pasti dimintai pertanggung-jawabannya” (QS. Al-Isra`:34).

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (QS. An-Nahl:91).

“Sesungguhnya orang-orang yang mengobral janji (mereka dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka, mereka itu tidak akan mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan menyapa mereka dan tidak akan melihat mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih” (QS. Ali ‘Imran:77).

Orang yang tidak menepati janji, termasuk munafik. Tempatnya di neraka, bahkan di neraka paling bawah.
“Tiga hal, siapa pun yang ada pada tiga hal itu disebut munafik, kendati ia berpuasa, mengerjakan shalat, dan mendaku dirinya Muslim. Yaitu apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyalahi janji, dan apabila dipercayai ia berkhianat” (HR Bukhari dan Muslim).
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka” (QS. Annisa:145).

Setiap pejabat negara, presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, anggota dewan, dan PNS mengucapak janji: tidak akan menyalahgunakan wewenang. Nyatanya, korupsi, pungli, komisi ilegal, marak! Maka, betapa banyak orang munafik itu! Masya Allah, Astaghfirullah, Na’udzubillah!
Pegawai dan majikan, bawahan dan atasan, juga menandatangani kontrak kerja, MoU, SK, dan sejenisnya. Itu pun janji. Jika dilanggar, nifak! Pelanggar janji juga pembohong, pendusta.
Namun, ada janji yang boleh bahkan wajib diingkari, yakni janji berbuat dosa. Sabda Nabi Saw: “Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir r.a.). Wallahu a’lam bish-shawab.*

Jumat, 06 Mei 2016

Hukum Ingkar Janji dalam Al-Qur'an



Dalam Islam, janji adalah sesuatu yang sangat di jaga, selama janji tersebut tidak bertujuan untuk berbuat dosa dan ingkar kepada Allah. Dan setiap muslim sangat di tekankan untuk menepati janji yang sudah mereka ikrarkan. Adapun perintah untuk menepati janji telah Allah sebutkan dalam Al-Qur'an Surah An-Nahl : 91-92
 
Menepati janji
Al-Qur’an Surah An-Nahl : 91-92
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. 16:91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya mengujimu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (QS. 16:92)” (an-Nahl: 91-92)
Hal ini merupakan bagian yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, yaitu menepati janji dan ikatan serta memelihara sumpah yang telah dikuatkan. Oleh karena itu, Dia berfirman: walaa tanqudlul aimaana ba’da taukiidiHaa (“Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah [kamu] itu sesudah meneguhkannya.”) janganlah anda mempertentangankan ayat ini dengan ayat berikut ini: “Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang,” dan ayat seterusnya. (QS. Al-Baqarah: 224) karena yang di maksud dengan al-aimaan dalam ‘dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah mengukuhkannya” adalah melanggar janji dan ikatan untuk menipu, bukan sumpah-sumpah yang biasa di ucapkan untuk bertekad melakukan sesuatu atau tidak melakukannya serta anjuran untuk melanggar sumpah yang menghambat kebaikan dengan membayar kifarat.
Penafsiran di atas di kuatkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Muth’im. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
لَا حِلْفَ فِي الإسْلَامِ. وَأِيَّمَا حِلْفٌ فِي اْالجَاهِلِيَّةِ فَإِنَّهُ لَايَزِيْدُهُ الإِسْلَامُ إِلَّاشِدَّةً (رواه أحمد)
“Tiada janji perserikatan dalam Islam. Persekutuan apapun yang terdapat pada zaman jahiliah, maka Islam semakin mengokohkannya.” (HR. Ahmad)
Hadis senada diriwayatkan pula oleh muslim dari Ibnu Abu Syaibah. Maksudnya hadis itu ialah bahwa Islam tidak memerlukan janji persekutuan yang biasa di lakukan oleh manusia pada zaman jahiliah, sebab dengan memegang teguh Islam berarti tidak di perlukan lagi apa yang di lakukan orang pada zaman jahiliah. Adapun makna haalafa yang di kemukakan dalam shahihain pada hadis yang diriwayatkan bahwa Anas r.a berkata:
حَالَفَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَ اللّهُ عَلَيهِ وَسَلّم بَيْنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأَنْصَارِ فِي دُوْرِنَا (رواه البخاري و مسلم)
“Rasulullah SAW. Mempersekutukan kaum muhajirin dan kaum Ashar dalam harta milik kami (rumah).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ialah bahwa beliau mempersaudarakan antara kedua golongan itu sehingga mereka dapat saling mewarisi sebelum hal ini di nasakh oleh Allah. Wallahu a’lam.[1]
Menepati janji Allah mencakup baiat (sumpah/janji) umat Islam kepada Rasulullah, dan mencakup pula setiap perjanjian terhadap perbuatan makruf yang di perintahkan Allah. Menepati janji-janji adalah jaminan atas keberlangsungan unsur tsiqah ‘kepercayaan penuh’ dalam etika pergaulan di antara manusia. Tanpa tsiqah ini maka, sebuah masyarakat tidak akan tegak. Begitupun kemanusiaan, tidak akan tegak melainkan dengannya.
            Konteks ayat di atas seakan-akan membuat malu para muta’ahidin ‘pemegang jani’ ketika mereka membatalkan sumpah-sumpahnya setelah mereka meneguhkan sendiri janji-janjinya itu. Sementara mereka telah menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka. Merekapun memberikan kesaksian sumpah-sumpahnya kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka untuk menepatinya. Kemudian Allah mengancam mereka dengan ancaman yang sangat halus dari jangkauan mereka, “sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”[2]
Firman Allah, “sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” merupakan intimidasi dan ancaman bagi orang yang melanggar janji setelah dia menguatkannya.
Sekaitan dengan ayat, “Dan janganlah seperti orang perempuan yang menguraikan benang-beanangnya yang sudah di pintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali,” Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid menafsirkan: ayat ini merupakan perumpamaan bagi orang yang melanggar janjinya setelah dia menguatkannya.[3]
Orang yang membatalkan sumpahnya bagaikan seorang wanita yang idiot lagi lebah tekad dan pikirannya. Wanita itu memintal benangnya kemudian menguraikan dan membiarkan benang tersebut sehelai-demi sehelai lepas dan terpisah. Setiap hal yang serupa dengan perumpamaan ini menunjukkan kehinaan, kekerdilan, dan keanehan. Manusia yang paling terhormat pun tidak akan sudi apabila dirinya diibaratkan sebagai seorang wanita yang lebah radah (kemauannya) dan dangkal akal pikirannya yang hanya menghabiskan umurnya untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
Ada juga sebagian kaum kafir yang menjadikan alasan bagi dirinya ketika ia membatalkan janjinya dengan Rasulullah bahwa beliau dan orang-orang yang bersamanya sangat sedikit dan lemah. Sementara kaum Quraisy adalah kelompok yang kuat dan banyak. Karenanya, Allah memperingatkan mereka bahwa itu bukanlah satu alasan yang benar bagi mereka untuk menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai alat penipu belaka dan merekapun bisa berlepas diri darinya. Firman-Nya:
“Kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlanya dari golongan yang lain.”
Yakni dengan sebab satu kelompok lebih besar jumlahnya dan lebih kuat lagi di banding dengan kelompok lainnya dan mencari kepentingan (kemaslahatan) dengan kelompok yang lebih banyak.
Islam hanya memerintahkan dengan tegas agar memang janjinya (menepatinya) dan tidak menjadikan sumpah-sumpah itu sebagai sarana untuk melakukan penipuan. Lain halnya apabila yang bersangkutan tidak mengikrarkan satu perjanjian ataupun kerja sama di luar ruang lingkup kebaikan dan ketakwaan. Tentu saja tidak dibenarkan melakukan satu perjanjian dan kerja sama di atas dasar dosa, kefasikan, kemaksiatan, memakan hak-hak orang lain, dan merampok kekayaan negara dan bangsa. Atas dasar inilah bangunan Jamaah Islam dan negara Islam tegak.
Firman Allah “disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain” adalah cobaan dari Allah kepada mereka untuk menguji radah ‘kemauan’ dan ‘wafa’’ ‘menepati janji’. Juga menguji kemuliaan terhadap diri-diri mereka sendiri dan menyinggung (menyindir) sikap mereka yang melakukan pembatalan janji yang telah mereka persaksikan kepada Allah,
“sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.” Setela itu masalah khilaf ‘perselisihan’ yang melibatkan semua jamaah dan kelompok manusia di kebalikan kepada Allah di hari kiamat untuk di putuskan oleh-Nya.[4]
Yang di maksud dengan ankaatsan dalam ayat 92 ialah menguraikan dengan hebat, atau kamu menjadi pelanggar janji. Karena itu, pada ayat sesudahnya Allah berfirman, “kamu menjadikan sumpahmu sebagai alat penipu di antara kamu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.” Yakni, kamu bersumpah kepada manusia jika jumlah mereka lebih banyak daripada kamu, agar mereka berbaik kepadamu. Namun jika sudah memungkinkan untuk berkhianat, kamu pun mengkhianati mereka. Maka Allah melarang perbuatan demikian melalui kelompok atas terhadap kelompok bawah, maka larangan melanggar janji oleh yang bawah terhadap pihak yang memiliki kekuatan tentu lebih kuat lagi.
“sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu,” yakni dengan perintah memenuhi janji. “Dan sesungguhnya di hari kiamat akan di jelaskan-Nya kepada mu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu,” lalu setiap orang dibalas dengan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk.[5]
Hukum Memenuhi Janji
           Berdasarkan ayat-ayat di atas pada dasamya segala janji yang baik yakni janji yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, wajib ditunaikan, wajib dipenuhi. Namun boleh jadi hukum janji itu bisa berubah. Ini menurut M.Yunan Nasution dalam khutbahnya, menjadi :
1. Sunnah memenuhinya. Artinya boleh ditinggalkan. Misalnya orang yang berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diperintahkan agama. Misainya, sejak hari ini saya tidak akan makan sambal.
2. Sunnah tidak memenuhinya. Contohnya seperti orang yang berjanji dan bersumpah akan melakukan suatu perbuatan, misainya jika saya lulus SLTA saya mau kursus menjahit. Ternyata dia berubah pikiran untuk melanjutkan kuliah dan ternyata diridhai orang tua. Maka kursus menjahitnya pun dibatalkan, karena melanjutkan kuliah. Konsekuensinya dia harus membayar kafarat sumpahnya itu. yaitu puasa kafarat 3 hari berturut- turut.
3. Wajib tidak memenuhi janjinya. Yakni janji untuk berbuat jahat.
Madharat Ingkar Janji
Ingkar janji alias berbuat kebohongan. Hampir setiap orang yang pernah berhubungan dengan orang lain kami kira sudah pernah merasakan, betapa pahitnya dibohongi orang lain dengan ingkar janji. Memang ingkar janji itu penuh dengan madharat, banyak sisi negatif yang akan timbul akibat ingkar janji ini. Di antaranya :
1.         Jika orang yang diingkari itu tidak rela, maka akan bereaksi dan timbul kemarahan. Jika marah tak terkendali, bisa menimbulkan pertengkaran, perkelahian, bahkan bisa menyebabkan pembunuhan. Pemimpin ingkar janji terhadap rakyatnya, maka bukan mustahil akan tenadi pemberontakan dan prahara di negerinya.
2.         Jika periodenya habis, jangan harap bisa terpilih lagi sebagai pemiumpin.
3.         Jika yang ingkar janji seorang pacar, sering menimbulkan stress berat dan akhirnya bunuh diri.
4.         Jika yang ingkar janji suatu perusahaan terhadap karyawannya. sering menbimbulkan demo yang bisa membangkrutkan perusahaan itu sendiri.
Allah SWT akan mengutuk keras dan melaknat serta menimpakan bencana terhadap orang yang ingkar janji, baik itu berjanji kepada Allah maupun berjanji terhadap saesama manusia.
Ingkar janji adalah merupakan indikasi orang munafiq, karena ciri-ciri orang Munafiq adalah suka berdusta, suka ingkar janji dan suka mengkhianati amanat, sebagaimana disebuatkan dalam sebuah hadits : “ tanda-tanda orang munafiuq ada tiga : jika ngomong dusta,jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat khianat. ” (H.R.Muslim).
Sedangkan orang munafiq diancam oleh Allah bakal dimasukkan ke dasar neraka, seperti firman Allah yang tertera dalam Al Quran surat An Nisaa‘145.
Menjauhi Sifat Munafik/ Ingkar Janji
           Beragam manusia menghiasi kehidupan ini. Berbagai sifat dan karakter juga mengisi bias kehidsupan. Tidak hanya orang dengan kepribadian baik yang mengisi keuniversalan alam. Namun, sifat dan karakter yang kurang baik juga mewarnai denyut aktivitas.Menjadi orang baik adalah harapan semua manusia. Tidak ada orang yang ingin hidupnya diisi dengan perbuatan dosa. Penyebab seseorang berbuat dosa pun bervariasi karena setiap orang memiliki sifat yang berbeda. Ada yang berupa kepentingan pribadi, adapula yang karena kepentingan bisnis. Kepentingan pribadi pun juga sangat luas, misalnya ambisi dalam menduduki jabatan tertentu.
Beragam sifat kurang baik pun mengisi keuniversalan manusia. Mulai dari sifat yang berdosa kecil hingga besar. Itulah namanya kehidupan. Warna warni karakter, sifat selalu ada dalam kehidupan. Salah satu sifat yang tergolong tidak baik adalah sifat munafik. Seringkali, kita mendengar kata munafik. Kadangkala kita tidak mengetahui apakah sifat munafik tersebut dan bagaimanakah tanda-tanda orang yang tergolong munafik.  Munafik merupakan salah satu sifat kurang terpuji.
Namun, yang lebih utama adalah menjauhi sifat-sifat munafik. Untuk lebih memudahkan menghilangkan sifat munafik, kita perlu mengetahui tanda-tanda sifat munafik tersebut. Dengan mengenali sifat tersebut, kita akan lebih mudah menjauhi sifat munafik. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR. Bukhori Muslim mengemukakan
‘’Ayatul munafiqhi shalasha idza qhadasha qhudaba. Wa idha wa ada akh lafa. Wa idza’ tumina qho na.  artinya adalah tanda orang munafik itu tiga jika berkata dusta dan jika berjanji menyalahi dan jika dipercaya khianat (cidera janji). HR. Bukhori Muslim.
Salah satu tanda sifat munafik terdapat pada orang yang suka berdusta. Bohong merupakan sifat yang tercela. Seringkali kita menemui orang yang suka mengatakan dusta. Umumnya, orang yang suka berdusta sekali maka dia akan terus berbohong sebagaimana terperinci pada artikel saya sebelumnya mengenai hilangnya kejujuran. Berbagai penyebab yang membuat orang suka berdusta. Ada yang suka berdusta memang dikarenakan karakternya memang seperti itu dan adapula yang suka berdusta karena keadaan atau kondisi yang membuat bohong lebih baik. Namun, berbagai alasan dusta tidak dapat dibenarkan karena dusta adalah perbuatan yang mengandung dosa.
Selain dusta, orang yang ingkar janji juga termasuk dalam tanda-tanda orang munafik. Orang yang tidak pernah menepati janjinya termasuk dalam golongan orang munafik. Mereka mudah berkata janji tetapi tidak bisa menepatinya. Ingkar janji seringkali kita jumpai. Tidak hanya dalam kehidupan masyarakat biasa, tetapi juga sering dijumpai apabila mendekati pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah hingga eksekutif. Sebagai contoh, seorang calon kepala daerah dalam melaksanakan kampanye mudah sekali berbicara janji di depan rakyatnya. Tujuannya, adalah menarik simpati warga untuk mendukungnya menjadi pemimpin daerah. Manakala calon pemimpin tersebut meraih suara banyak hingga membuatnya terpilih menjadi kepala daerah, maka janji-janjinya semakin lama semakin pudar dan calon pemimpin tersebut tidak menepatinya.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor, misalnya kepentingan pribadi yang ingin menumpuk harta karena telah mendapatkan kesempatan emas hingga kepentingan politik. Oleh karena itu, hendaknya setiap manusia menjadi orang yang amanah. Artinya manakala mereka berjanji maka ucapannya dapat dipercaya.

Ingkar Janji (Khianat), Watak Kaum Yahudi

“HAI Bani Israil , ingatlah ni’mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku , niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (QS. Al Baqarah (2) :40)

Dalam tulisan yang lalu telah dibahas tentang sifat orang-orang Yahudi yang suka “melupakan ni’mat” atau “tidak bersyukur”.
Bani Israil telah diambil janjinya baik dalam keadaan nyaman maupun di bawah ancaman bukit Thursina.
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat gunung (Thursina) di atasmu (seraya kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertaqwa”. (QS. Al Baqarah (2) :63)

Isi perjanjian itu adalah melaksanakan sekuat tenaga apa yang telah diberikan kepada mereka, yaitu Taurat, yang kemudian injil pada masa Nabi Isa ‘Alaihissalam. Dan Allah akan menepati pula janji-Nya bila Bani Israil menepati janjinya kepada Allah. Namun, meskipun telah berjanji di bawah ancaman bukit Thursina, tapi tetap saja kemudian mereka berpaling.
“Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi. ” (QS. Al Baqarah (2) :64)

Namun Allah adalah Dzat Yang Maha Pemberi Karunia dan Maha Rahman. Janji yang lain adalah: jika datang Nabi Muhammada Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah Allah janjikan, supaya beriman kepadanya dan mengikutinya. Namun ketika janji Allah itu telah tiba, yaitu datangnya Nabi akhir zaman, mereka justeru mengingkarinya hanya karena Muhammad itu dari bangsa Arab (QS Al Baqarah (2) : 89) dan hanya karena Muhammad tidak memusuhi Jibril (QS Al Baqarah (2): 97).

Tidak hanya mengingkari janjinya kepada Allah, Bani Israil juga suka mengkhianati perjanjian-perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Muslimin. Tercatat jelas dalam sejarah para nabi hingga era millenium ini, deretan daftar panjang perjanjian-perjanjian yang dikhianati oleh kaum Yahudi ini. Melanggar perjanjian membuat mereka diusir dari Madinah dan menciptakan beberapa perang besar. Pelanggaran panjang pun selalu mereka lakukan di dalam konflik berdarah Palestina – Israel. Yang terbaru adalah kaum Yahudi ini melanggar perjanjian international dengan tidak mematuhi resolusi PBB dalam penyerangan koalisi terhadap Libya.
Tokoh-tokoh Yahudi menciptakan aturan-aturan international guna mengintervensi negara-negara lain. Sedangkan di sisi lain justeru mereka yang melanggarnya. Pelanggaran international yang tak pernah mereka hentikan adalah penjajahan dan pembantaian terhadap Muslimin, wanita dan anak-anak Palestina.
Melanggar janji atau berkhianat adalah bagian dari karakter kuat Bani Israil (Yahudi). Maka Muslim yang suka berkhianat, jelas raganya Muslim tapi sifatnya Yahudi.
Bukan hanya Bani Israil yang punya ikatan janji kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi juga Muslimin. Janji adalah hal yang tidak terpisahkan dari “tha’at”. Setiap Muslim telah diikat oleh janji. Adalah wajib untuk memenuhinya. Karena, jika tidak dipenuhi, maka hal itu akan jadi “boomerang” bagi Muslim itu sendiri.
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (jahannam).” (QS. Ar Ra’d (13) :25)

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. ” (QS. Ali Imran (3) :77)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidak sempurna iman bagi mereka yang tidak bersifat amanah dan tidak sempurna agama bagi mereka yang tidak menepati janji.” (HR. Ahmad).

“Tipu daya, tipuan dan khianat itu di neraka.” (HR. Abu Daud).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: “Tiga orang, Aku musuhnya pada hari Kiamat, yaitu seseorang yang memberikan kepada-Ku (janji) kemudian ia khianat, seseorang yang men jual orang merdeka lalu harganya dimakannya, dan seseorang yang mempekerjakan buruh yang telah menyempurnakannya namun ia tidak diberi upanya”.” (HR. Bukhari)

Bahayanya Ingkar Janji.

Bahayanya Ingkar Janji. “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik bermanfaat sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al Isra’ 34).
Dalam pergaulan kita sehari-hari, ada satu jenis bumbu pergaulan yang disebut dengan ‘‘janji”. Janji sering digunakan oleh orang yang mengadakan transaksi perdagangan, oleh politikus yang tengah berkampanye, oleh orang yang memiliki hutang tetapi sampai waktunya dia belum bisa memenuhinya,
bahkan janji dilakukan pula oleh ibu-ibu kepada anak-anaknya di saat mau pergi ke pasar tanpa mengajak mereka dengan maksud agar si anak rela untuk tidak ikut ke pasar. Mereka begitu menganggap enteng untuk mengucapkan janji.
Ujung-ujungnya, ada di antara mereka yang konsisten dengan janjinya, sehingga dia berupaya untuk memenuhi janjinya itu. Namun ada dan banyak pula di antara mereka yang ingkar janji, sehingga membuat kecewa berat bagi orang yang mendapat janji tadi.
Padahal Rasulullah Saw dengan tegas mengatakan bahwa janji itu adalah hutang dan Allah SWT sendiri telah mengingatkan melalui Al Quran surat Al Isra’ 34 bahwa janji itu harus ditepati, karena janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya, sebagai mana ayat yang yang sudah kami tulis sebagai headline edisi ini di atas.
Pengertian Janji
Janji menurut Kamus Baliasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan, bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi.
Al Quran, menggunakan tiga istilah yang maknanya berjanji, yaitu :
wa ’ada. Contohnya : Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar
ahada. Contohnya : Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan jan- jinya (Q.S.Al: Mu’minun ).
aqada. Contohnya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Aqad (perjanjian) di sini mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
Selanjutnya, janji dalam Arti ’aqad/’aqada menurut Abdullah bin Ubaidah ada 5 macam :
‘aqad iman / kepercayaan yang biasa disebut ‘aqidah.
‘aqad nikah
‘aqad jual beli
‘aqad dalam arti perjanjian umuni
‘aqad sumpah.
Macam-Macam Janji
Sayyid Ridha dalam tafsir Al Manar, membagi janji itu ke dalam tiga bagian, yaitu : janji kepada Allah janji kepada diri sendiri janji kepada sesama amanusia.
Bagi kita insan beriman, ketiga-tiganya biasa kita lakukan :
Janji kita kepada Allah SWT
Ketika kita menjalankan shalat, pada doa iftitah kita mengucapkan :
Sesungguhnya shalatku. ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk/milik Allah Tuhan Sertiesta Alam “.Ini adaiah merupakan janji manusia terhadap Allah yang harus ditepati. yakni dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. yang menurut syari’ah dinamakan taat, karena manusia ataupun jin diciptakan manusia memang untuk beribadah kepada-Nya.
Janji Terhadap Diri Sendiri
Misalnya seorang mahasiswa mengatakan, “Jika saya lulus ujianku, aku akan menyembelih kambing untuk dibagikan kepada orang lain”.
Seorang yang sakit yang serius, kala itu dia mengucapkan Jika aku sembuh dari penyakitku, aku akan berpuasa tiga hari. “ Kedua hal itu merupakan janji manusia terhadap diri sendiri yang harus ditunaikan, yang dalam bahasa agama disebut dengan nadzar. Ini harus dilaksanakan karena Allah telah berfirman : “ …Dan hendaklah menyempurnakan (memenuhi) nazar mereka… “ (Q.S.Al Hajj 29). Tentu saja nadzar yang harus dipenuhi adalah nadzar yang yang tidak menyimpang dari syari’at agama Islam. Tapi misalnya ada orang yang mengatakan,’’Kalau saya lulus ujian, aku akan potong tangan ibuku.” itu haram dilaksanakan, karena manusia oleh Allah tidak diperkenankan untuk menyiksa diri sendiri ataupun orang lain.
Janji Terhadap Sesama Manusia
Ini banyak ragamnya. Ada yang beijanji dengan seseorang untuk hidup semati, ada yang janji mau membayar hutang setelah rumahnya laku terjual, ada yang janji memberangkatkan haji kepada orang tuanya nanti setelah proyeknya seselai.dll seperti yang sudah kami sebut.
Dan janji ini berlaku dalam berbagai segi kehidupan, sejak dilingkungan keluarga, kehidupan dalam masyarakat hingga urusan kenegaraan. Yang jelas, selagi orang bergaul dan saling membutuhkan dan sementara apa yang dibutuhkan belum terwujud, maka janjilah yang dianggap sebagai solusi sementaranya.
Hukum Memenuhi Janji
Saudara, pada dasamya segala janji yang baik yakni janji yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, wajib ditunaikan, wajib dipenuhi. Namun boleh jadi hukum janji itu bisa berubah. Ini menurut M.Yunan Nasution dalam khutbahnya, menjadi :
Sunnah memenuhinya. Artinya boleh ditinggalkan. Misalnya orang yang berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diperintahkan agama. Misainya, sejak hari ini saya tidak akan makan sambal.
Sunnah tidak memenuhinya. Contohnya seperti orang yang berjanji dan bersumpah akan melakukan suatu perbuatan, misainya jika saya lulus SLTA saya mau kursus menjahit. Ternyata dia berubah pikiran untuk melanjutkan kuliah dan ternyata diridhai orang tua. Maka kursus menjahitnya pun dibatalkan, karena melanjutkan kuliah. Konsekuensinya dia harus membayar kafarat sumpahnya itu. yaitu puasa kafarat 3 hari berturut- turut.
Wajib tidak memenuhi janjinya. Yakni janji untuk berbuat jahat.
Madharat Ingkar Janji
Ingkar janji alias berbuat kebohongan. Hampir setiap orang yang pernah berhubungan dengan orang lain kami kira sudah pernah merasakan, betapa pahitnya dibohongi orang lain dengan ingkar janji. Memang ingkar janji itu penuh dengan madharat, banyak sisi negatif yang akan timbul akibat ingkar janji ini. Di antaranya :
Jika orang yang diingkari itu tidak rela, maka akan bereaksi dan timbul kemarahan. Jika marah tak terkendali, bisa menimbulkan pertengkaran, perkelahian, bahkan bisa menyebabkan pembunuhan. Pemimpin ingkar janji terhadap rakyatnya, maka bukan mustahil akan tenadi pemberontakan dan prahara di negerinya.
Jika periodenya habis, jangan harap bisa terpilih lagi sebagai pemiumpin.
Jika yang ingkar janji seorang pacar, sering menimbulkan stress berat dan akhirnya bunuh diri.
Jika yang ingkar janji suatu perusahaan terhadap karyawannya. sering menbimbulkan demo yang bisa membangkrutkan perusahaan itu sendiri.
Allah SWT akan mengutuk keras dan melaknat serta menimpakan bencana terhadap orang yang ingkar janji, baik itu berjanji kepada Allah maupun berjanji terhadap saesama manusia.
Ingkar janji adalah merupakan indikasi orang munafiq, karena ciri-ciri orang Munafiq adalah suka berdusta, suka ingkar janji dan suka mengkhianati amanat, sebagaimana disebuatkan dalam sebuah hadits : “ tanda-tanda orang munafiuq ada tiga : jika ngomong dusta,jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat khianat. ” (Sedangkan orang munafiq diancam oleh Allah bakal dimasukkan ke dasar neraka, seperti firman Allah yang tertera dalam Al Quran surat An Nisaa‘145. Semoga kita senantiasa ditolong oleh Allah SWT agar bisa memenuhi janji kita manakala kita terpaksa harus berjanji. . Amin.

HUKUM MENEPATI JANJI DALAM ISLAM

Hukum berjanji adalah boleh (jaiz) atau disebut juga dengan mubah. Tetapi hukum memenuhi atau menepatinya adalah wajib. Melanggar atau tidak memenuhi janji dalah haram dan berdosa. Berdosanya itu bukan sekadar hanya kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah swt. Dasar dari wajibnya kita menunaikan janji yang telah kita janjikan antara lain adalah:

a. Perintah Allah dalam Alquran Al-Karim, surat An-Nahl, ayat 91: “Dan tepatilah perjanjianmu apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

b. Menunaikan janji adalah ciri orang beriman, sebagaimana diungkapkan Allah dalam surat Al-Mukminun. Salah satunya yang paling utama adalah mereka yang memelihara amanat dan janji yang pernah diucapkannya. FirmanNya: “Telah beruntunglah orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.”

c. Ingkar janji adalah perbuatan setan untuk mengelabui manusia, maka mereka merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya itu. Allah berfirman dalam surat An-Nisa, ayat 120: “Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.”

d. Ingkar janji adalah sifat Bani Israil. Ingkar janji juga perintah Allah kepada Bani Israil, namun sayangnya perintah itu dilanggarnya dan mereka dikenal sebagai umat yang terbiasa ingkar janji. Hal itu diabadikan di dalam Al-Quran Al-Karim: “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmatKu yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepadaKu, niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu dan hanya kepadaKu-lah kamu harus takut.”
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hukum menepati janji adalah wajib. Dalam ungkapan bahasa Melayu, ada peribahasa: Sekali lancung ujian, seumur orang tidak akan percaya lagi. Malah mengingkari janji adalah salah satu sifat orang munafik. Rasulullah bersabda: “Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Meskipun demikian, sebagai agama yang adil selalu memperhatikan situasi dan kemampuan seseorang, sehingga ada beberapa situasi yang merupakan pengecualian dari hukum tersebut, antara lain adalah:

1. Karena dipaksa. Gara-gara dipaksa bisa menjadi alasan yang memperbolehkan seorang Muslim untuk membatalkan janji yang ia buat, seperti seseorang yang ditahan atau dicegah sehingga ia tidak bisa memenuhi janjinya, atau seseorang yang diancam dengan hukuman yang menyakitkan.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan kepada umatku dari kesalahan yang tidak disengaja, lupa atau yang dipaksakan atasnya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim dan Ibnu Majah)

2. Berjanji untuk melakukan sesuatu perbuatan yang haram atau tidak melakukan yang hukumnya wajib. Barangsiapa yang berjanji kepada seseorang bahwa ia akan melakukan perbuatan yang haram untuknya, atau ia tidak akan melakukan sesuatu yang hukumnya wajib, maka diperbolehkan baginya untuk tidak memenuhi janji tersebut.

3. Betul-betul tidak mampu. Jika terjadi suatu kejadian yang tidak diduga sebelumnya dan menimpa orang yang berjanji, seperti sakit, kematian saudaranya atau transportasi yang bermasalah dan alasan-alasan lainnya, maka situasi tersebut mungkin bisa menjadi alasan yang tepat apabila dia tidak bisa memenuhi janjinya, sesuai dengan firman Allah swt: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286) .

Janganlah Ingkar Janji

Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا …

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

Para Rasul Menepati Janji
Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِي وَفَّى

Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah melaksanakan seluruh apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalam:

إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ

Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala– ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Zadul Ma’ad, 3/262)

Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu ada seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Anas bin An-Nadhr radhiyallahu ‘anhu. Dia amat menyesal karena tidak ikut perang Badr bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berjanji jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagian lari dari medan pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia terus maju menerobos barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Dahulu kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang berkata: “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu atas apa kami membaiat anda?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُوا الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَتَسْمَعُوا وَتُطِيْعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا

Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada penguasa) –dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat yang samar– (lalu berkata), dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”
‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka tidak meminta kepada seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tiada kalimat yang terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka takut kepada adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang telah mati hatinya dan dikuasai oleh setannya.

Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam dan memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan siap bertempur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga mereka lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit beserta pasukannya. Lelaki tadi berkata: Wahai Suraqah, bukankah kamu telah menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata: “Aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)

Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang jelek serta rusaknya hati.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)

Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan musyrikin, tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga, sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِلاَّ الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوْكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ

Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)
Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma ada ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)
Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا

Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)
Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)
Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)

Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil
Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ

Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan oleh manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ

Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)
Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat
Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan, maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)
Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)

Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa
Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُوْنَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Khatimah
Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari ingatan kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berujung dengan kehinaan. Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka karena tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal demi tegaknya kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terwujudnya harapan. Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu a’lam.