Ini cerita saya di Adelaide dulu. Saya menawarkan komputer saya
kepada rekan sekerja yang berbangsa Palestina Amerika. Dia berjanji akan
mengambil komputer itu setelah Maghrib. Pada saat bersamaan, seorang
kawan Indonesia juga ingin membeli komputer saya sekarang juga tanpa
harus menunggu Maghrib. Saya katakan pada dia, kita tunggulah habis
Maghrib. Kalau kawan Palestina itu tidak datang juga, baru saya jual
sama kamu. Tunggu punya tunggu, hingga menjelang Isya, si kawan
Palestina itu tidak datang juga. Akhirnya
saya jual komputer itu kepada kawan Indonesia tersebut, karena
beranggapan masa menunggu janji dengan orang Palestina itu sudah habis
alias expire. Tanpa disangka, satu jam setelah Isya di musim
panas, kawan itu menelepon hendak ke rumah untuk mengambil komputer
tersebut. Saya mengatakan bahwa komputer itu sudah kujual, karena dia
datang setelah maghrib tadi. Dia marah besar dan menganggap sayatidak
menepati janji. Saya malah berpikir sebaliknya? Loh, bukannya dia
sendiri yang tidak menepati janji yang sudah disepakati itu? Setelah itu
hubungan kami menjadi dingin, hanya karena kasus jualan komputer
tersebut.
Mengapa orang Islam begitu mudah mengingkari janji? Bukankah
agama sudah menekankan betapa pentingnya memenuhi janji yang telah
dibuat? Mari kita lihat hujjah-hujjah yang berasal dari al-Qur’an dan
as-Sunnah tentang betapa pentingnya menepati janji.
Menepati janji ada kaitannya dengan disiplin waktu. Tidak ada
agama-agama didunia ini selain Islam yang sangat ketat dalam masalah
disiplin waktu dalam ibadah, seperti:
- Mengapa puasa menjadi batal gara-gara seseorang berbuka 5 menit sebelum waktunya?
- Mengapa pula sholat menjadi tidak sah jika dilakukan 5 menit sebelumnya?
- Mengapa haji seseorang itu menjadi batal jika ia datang ke Arafah 5 menit setelah shubuh pada hari nahr (10 Dzulhijjah)?
- dll
Tidak lain, wallahu’alam, semua itu karena Islam ingin mengajari disiplin dalam waktu dan setia kepada janji.
“Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban bagi orang-orang mukmin pada waktu yang telah ditentukan.” (An-Nisa’: 103)
Agama yang seluruh ibadahnyaberdasarkan waktu-waktu tertentu yang
rapi adalah agama yang agung, karena mengajarkan pengikutnya untuk
teliti dan teratur dalam memelihara waktu.
Dalam kaitannya dengan menepati janji, beberapa ayat al-Qur’an dengan
jelas menyebutkan betapa pentingnya memelihara janji. Kita bisa baca
dari ayat-ayat berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, tepatilah semua akad janjimu.” (Al-Maidah: 1)
“Dan tepatilah semua janji, sesungguhnya perjanjian itu akan dipertanggungjawabkan.” (Al-Isra’: 34)
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak perbuat, sungguh besar murka Allah jika kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat.” (Ash-Shaff: 2-3)
“Dan ceritakanlah (kisah tentang) Ismail (yang terdapat) dalam Al-Qur’an, sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan ia adalah rasul dan nabi.” (Maryam: 54)
Imam Al-Qurtubi Rahimahullah berkata: “Shidqul wa’di (benar janji)
adalah akhlaq para nabi dan rasul; sedangkan kebalikannya-mengingkari
janji- adalah akhlaq yang tercela dan termasuk akhlaq orang-orang fasiq
dan munafiq. Allah SWT telah memuji Ismail as dan menyebutnya sebagai
orang yang benar janjinya, karena Ismail berjanji pada dirinya untuk
sabar menjalankan perintah Allah ketika mau disembelih. Ia sabar
menta’ati perintah itu yang akhirnya tidak jadi disembelih dan
digantikan dengan binatang.”
Menepati janji yang merupakan ciri-ciri seorang nabi juga ada
disinggung dalam sebuah percakapan antara Heraklius dan Abu Sufyan.
“Saya bertanya, apa yang dia perintahkan kepada kalian? Dia memerintahkan kalian untuk menunaikan shalat, jujur, menjaga diri, menepati janji dan menunaikan amanah. Dia mengatakan: itu adalah ciri-ciri seorang nabi.” (Shahih Al-Bukhari: kitab Asy-Syahadah, bab Min Amrin …)
Kenapa orang yang mengingkari janji disebut tanda-tanda orang munafiq? Ini karena telah disebutkan didalam hadist yang berbunyi:
“Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga: apabila berbicara bohong, apabila dipercaya berkhianat, dan apabila berjanji mengingkari.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
“Apabila berjanji mengingkari” bermaksud apabila berjanji dia berniat
untuk mengingkari atau tidak menepati janji tanpa udzur (halangan).
Fenomena ini tersebar luas di negara kita Indonesia, yaitu ketika
berjanji mereka menyebut Insya Allah tapi dalam hatinya berniat untuk
tidak melaksanakan janji tersebut. Kata ini sering kali di gunakan untuk
menutupi atau sebagai legalitas dari sebuah keraguan. Ketika kita
melakukan sebuah janji dengan seseorang kita sering mengucapkan kata
itu. Tapi kadang-kadang kita menggunakan kata itu hanya takut bila nanti
kita tak menepati janji tersebut atau sebagai legalitas untuk meredam
emosi atau kekesalan terhadap pihak yang telah kita berikan janji.
Kesalahanya adalah kita menempatkan kata itu atas dasar sungkan (tak
berhasrat atau tak kita niati sepenuhnya) atas suatu yang akan kita
lakukan. Padahal kata tersebut harusnya kita dasari dengan kejujuran dan
niat untuk melakukan apa yang akan kita lakukan bukanya hanya untuk
menutupi keraguan kita. Kata Insya Allah dijadikan tameng untuk
persiapan mengingkari janji.
Nah setelah mengetahui dimana posisi Al-Qur’an dan As-Sunnah
dalam hal menjaga waktu dan menepati janji, pertanyaan selanjutnya
adalah: Apakah menepati janji itu wajib atau sunnat?
Dalam hal ini, para ulama terpecah ke dalam dua pendapat: wajib dan sunnat. Jadi tidak semua seia sekata mengatakan wajib.
Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan jumhur ulama mengatakan hukumnya
adalah sunnat. Seandainya tidak ditepati maka orang tersebut tidak
mendapat keutamaan sekaligus melakukan perbuatan yang makruh (dibenci)
berat.
Sedangkan Imam Ahmad mengatakan wajib menepati janji.
Malikiyah menyatakan wajib ditepati apabila ada kaitan dengan suatu sebab, seperti:
- menikahlah, maka kamu akan mendapatkan ini
- bersumpahlah untuk tidak mencelakai aku
- dll
Sedangkan janji yang tiada sebab, maka tidak wajib ditepati. Contohnya:
Ketika sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang teman mengenai
sebuah perkara, tiba-tiba teman tersebut berkata: “Nanti malam aku kirim
filenya melalui email kamu.” Tunggu punya tunggu, file tersebut tidak
nongol-nongol juga di account email kita. Ini yang disebut berjanji
tanpa sebab yang menurut madzhab Maliki tidak wajib ditepati.
Walaupun mayoritas ulama Syafi’iyah, termasuk An-Nawawi, menyatakan
bahwa tidak menepati janji hukumnya adalah makruh, Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani salah satu tokoh ulama besar dari madzhab Syafi’i, malah
mempertanyakan pendapat yang mengatakan tidak wajib menepati janji.
Menurut beliau dalil-dalil yang menunjukkan wajib menepati janji baik
dari al-Qur’an maupun hadit-hadith sangat kuat. Maka bagaimana ia bisa
menjadi makruh?
Imam Taqiyuddin Al-Subki juga mempertanyakan pendapat ulama-ulama
Asy-Syafi’iyah yang mengatakan tidak wajib menepati janji. Karena secara
zahir dan sunnah menunjukkan kewajibannya dimana mengingkari janji
adalah sebuah bentuk kebohongan. Sedangkan berbohong termasuk akhlaq
orang munafiq. Beliau kemudian mentarjih masalah ini dan mengatakan
wajib hukumnya menepati janji.
Sebab-Sebab Meremehkan Waktu
- Lemahnya komitmen terhadap hukum-hukum syariat, seperti tidak mengetahui bahwa janji yang sudah disepakati tidak boleh dilanggar kecuali uzur.
- Tidak pedulian. Sifat yang tidak peduli dengan urusan waktu hingga mendarah daging. Akibatnya mereka tidak peduli apakah mereka hadir tepat waktu. Bahkan sengaja datang terlambat tanpa ada rasa beban sama sekali.
- Menganggap remeh urusan menit. Kalau berjanji jam 7.15, maka ditunda hingga jam 7.30 bahkan jam 8.00.
- Menganggap acara itu tidak penting. Tidak hadir dalam satu acara yang sudah dijanjikan tanpa memberitahukan terlebih dahulu, karena merasa tidak berkepentingan dengan acara tersebut, atau menghadiri acara lain yang lebih penting.
- Tidak memperhatikan skala prioritas. Contohnya:
+ Saya terlambat karena harus mengantar istri ke pasar
+ Saya terlambat karena ada acara lain. Tidak patut membuat janji lebih dari satu.
+ Saya terlambat karena tiba-tiba ada tamu di rumah saya. Mana lebih penting menemui tamu dan terlambat menunaikan janji, atau meminta izin kepada tamu untuk menghadiri suatu janji. Anggaplah anda harus bekerja sore hari, tetapi datang tamu tiba-tiba ke rumah anda. Apakah anda akan mengorbankan kerja anda karena menghormati tamu? “Apabila dikatakan kepada kalian, ‘Pulanglah!’ maka kalian harus pulang. Karena itu lebih suci bagi kalian.” (An-Nur: 28)
+ Saya terlambat karena macet di jalan. Seharusnya merancang waktu agar dapat tiba dengan tepat dengan memasukkan waktu macet. - Tidak tegas dalam menghadapi masalah. Banyak orang tidak setuju atas keterlambatan orang lain, tetapi memiliki rasa malu atau hormat ke orang tersebut untuk menegurnya.
- Lingkungan dan Masyarakat. Lingkungan yang sudah terbiasa meremehkan waktu sehingga telah menjadi kebiasaan masyarakat. Seperti di Indonesia yang sudah terbiasa dengan budaya jam karet.
MASALAH-MASALAH YANG TIMBUL AKIBAT INGKAR JANJI
- Tidak ada kepercayaan lagi pada orang yang mengingkari janji
- Tidak percaya kepada waktu yang ditentukan. Apabila waktu yang ditentukan itu adalah pukul delapan, maka tidak apa-apa kalau baru hadir pada jam sembilan atau jam sepuluh.
- Membuat orang komitmen menjadi luntur. Ketika seorang yang komitmen dengan waktunya melihat bahawa suatu kelompok telah menyelisihi janji dan tidak ada perhatian, maka hal ini bisa membuat orang yang komitmen tadi berubah menjadi tidak komitmen terhadap waktu. Ini masalah yang menular.
- Membuat satu pekerjaan tidak selesai dikerjakan pada waktunya.
JALAN KELUAR DARI MASALAH
- Tarbiyah Imaniyah yang kuat. Dibina keimanannya sejak dini dengan kokoh. Dengan keimanan yang kuat, orang tidak mudah berbohong. Harus ada pembiasaan sejak kecil lagi, karena ini masalah akhlak. Akhlak itu perlu disemai dan dipupuk sejak kecil. Tidak hanya cukup dengan slogan-slogan untuk menepati janji. Harus ada latihan yang nyata.
- Berterus-terang dan Tidak usah Basa-Basi. Langsung berterus-terang kalau kita tidak suka dengan cara dia yang tidak menepati janji. Memang pertama berat dilakukan, karena ada kemungkinan orang tersebut akan marah pada kita.
- Membuat sangsi mental yang sesuai. Misalnya yang terlambat datang tidak diizinkan masuk ruangan, dsb.
- Memuji orang yang tepat waktu.
- Harus ada contoh dari pemimpin.
- Komitmen untuk mulai acara pada saat yang ditentukan tanpa menunggu yang terlambat.
- Menentu waktu yang pasti untuk memulai acara. Misalnya acara dimulai jam 5.30 tepat, bukannya setelah sholat Ashar. Karena setelah sholat Ashar itu panjang waktunya hingga Maghrib.
- Berkomitmen dengan lamanya pertemuan. Jangan meninggalkan pertemuan di tengah jalan.
- Memberitahukan kalau tidak dapat menepati janji, jadi jangan sampai orang lain menunggu janji yang tidak akan terlaksana.
- Menyiapkan diri untuk memenuhi janji yang telah ditentukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar