Senin, 13 Juni 2016

Hukum Janji, Sumpah dan Nazar

Allah SWT telah berfirman dalam sebuah ayat yg artinya “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut .” Dinul Islam sejak kedatangannya mempunyai tujuan yg indah yaitu membangun masyarakat yg ideal penuh dgn keutamaan jauh dari kehinaan saling tolong menolong atas dasar taqwa dan kebaikan serta saling berwasiat dgn kesabaran dan kebenaran. Dinul Islam juga mengajarkan agar tiap muslim menghiasi dirinya dgn akhlak yg mulia. Dan di antara akhlak yg mulia itu adl menepati janji. Allah SWT berfirman yg artinya “Dan ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil janganlah kalian beribadah kepada selain Allah dan berbuat baiklah kepada ibu bapa kaum kerabat anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” Ma’asyiral muslimin rakhimakumullah!Menepati janji Allah dan rasul-Nya adl pokok pondasi dari semua janji. Bila seseorang berhasil menepati janji Allah dan rasul-Nya maka ia akan berhasil pula dalam menepati janji lainnya. Sebaliknya bila ia gagal memenuhi janji Allah dan rasul-Nya maka ia adl orang yg tidak lagi memiliki janji dan keamanan. Karena antara janji dan keimanan saling berhubungan. Berdasarkan ayat dari surat Al-Baqarah di atas yg dimaksud dgn janji Allah adl beribadah hanya kepada-Nya. Adapun yg dimaksud dgn janji rasul adl mengikuti perjalanan sirah dan konsep kehidupannya. Allah SWT berfirman yg artinya “Dan ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi ‘Sungguh apa saja yg Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yg membenarkan apa yg ada padamu niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya’. Allah berfirman ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yg demikian itu’? mereka menjawab ‘Kami mengakui’. Allah berfirman ‘Kalau begitu saksikanlah dan Aku menjadi saksi bersamamu’.” Tidak diragukan lagi menepati janji selain tanda dari keistiqamahan ia juga merupakan tiang dari kepercayaan seseorang. Kalau menepati janji tidak ada maka istiqamah dan kepercayaan juga tidak ada. Allah SWT berfirman ” sebenarnya siapa yg menepati janji nya dan bertakwa maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yg bertaqwa.” Dalam sisi lain Islam juga mencela bagi mereka yg menghianati amanat. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya binatang yg paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yg kafir krn mereka itu tidak beriman. orang-orang yg kamu telah mengambil perjanjian dgn mereka sesudah itu mereka menghianati janjinya pada tiap kalinya dan mereka tidak takut .” Ma’asyiral muslimin rakhimakumullah!Ada ungkapan yg menyebutkan bahwa janji itu adl hutang. Oleh krn itu harus dipenuhi. Disamping itu janji juga akan diminta pertanggungjawabannya. Allah SWT berfirman “Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabannya.” Atau dalam firman-Nya yg lain “Dan tepatilah perjanjian dgn Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah meneguhkannya.” Oleh krn itu siapa saja yg telah berjanji kepada sesama manusia entah itu berkenaan dgn janji membayar hutang memenuhi undangan berkumpul di suatu tempat dan sebagainya maka janji-janji itu harus dipenuhi dan tak boleh diingkari. Rasulullah saw bersabda “Ada tiga hal siapa yg berada di dalamnya maka dia adl orang munafik meskipun dia salat puasa haji berkata bahwa dirinya adl seorang muslim. Tiga hal tersebut adalah apabila berbicara berbohong apabila berjanji mengingkari dan apabila diberi amanat berkhianat.” Ma’asyiral muslimin rakhimakumullah!Termasuk menepati janji yg perlu diperhatikan adl membayar hutang. Karena membayar hutang memiliki kedudukan yg kuat di sisi Allah SWT. Maka siapa yg telah berhutang hendaklah ia berusaha dgn sekuat tenaga utk memenuhi hutang tersebut dan Allah akan menjamin pelunasan hutangnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda “Tiga hal yg merupakan kewajiban Allah utk memberikan pertolongan yaitu seorang budak mukatab yg berusaha melunasi dirinya orang yg menikah krn menjaga kehormatan dan orang yg berjihad di jalan Allah.” Hadis di atas memberi kejelasan bahwa Allah memberi udzur bagi orang yg kesulitan membayar hutang krn kondisi yg sulit atau krn adanya musibah. Adapun bagi mereka yg mampu melunasi tetapi tidak segera membayarkannya maka hal ini termasuk sikap meremehkan dan kemewahan yg dibenci. Sementara mereka yg berhutang dan berniat tidak mengembalikannya ini termasuk orang yg merusak janji. Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa yg mengambil harta manusia krn ingin ditunaikan kepada yg berhak niscaya Allah akan menyampaikannya. Namun barangsiapa mengambil harta manusia krn ingin dihilangkannya. Maka Allah akan menghilangkannya.” Karena itu marilah kita takut kepada Allah dan marilah kita penuhi janji-janji dan marilah kita melaksanakan amanat. Rasulullah saw bersabda “Tidak ada iman bagi yg tidak melaksanakan amanat dan tidak ada dien bagi yg tidak memenuhi janji.”Wallahu a’lam bishshawab.

Berjanji itu harus ditepati dan melanggar janji berarti berdosa. Bukan sekedar berdosa kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah. Dasar dari wajibnya kita menunaikan janji yang telah kita berikan antara lain adalah:
a. Perintah Allah SWT dalam Al-Qurân Al-Karim
Allah SWT telah memerintahkan kepada setiap muslim untuk melaksanakan janji-janji yang pernah diucapkan.
وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ اللّهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
وَلاَ تَتَّخِذُواْ أَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُواْ الْسُّوءَ بِمَا صَدَدتُّمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan karena kamu menghalangi dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.
b. Menunaikan Janji Adalah Ciri Orang Beriman
Allah menyebutkan dalam surat Al-Mu`minun tentang ciri-ciri orang beriman. Salah satunya yang paling utama adalah mereka yang memelihara amanat dan janji yang pernah diucapkannya.
Telah Beruntunglah orang-orang beriman, yaitu yang …. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.
c. Ingkar Janji Adalah Perbuatan Syetan
Ingkar janji itu merupakan sifat dan perbuatan syetan. Dan mereka menggunakan janji itu dalam rangka mengelabuhi manusia dan menarik mereka ke dalam kesesatan. Dengan menjual janji itu, maka syetan telah berhasil menangguk keuntungan yang sangat besar. Karena alih-alih melaksanakan janjinya, syetan justru akan merasakan kenikmatan manakala manusia berhasil termakan janji-janji kosongnya itu.
يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُورًا

Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.
d. Ingkar Janji Adalah Sifat Bani Israil
Ingkar janji juga perintah Allah kepada Bani Israil, namun sayangnya perintah itu dilanggarnya dan mereka dikenal sebagai umat yang terbiasa ingkar janji. Hal itu diabadikan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
Hai Bani Israil, ingatlah akan ni`mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu dan hanya kepadaKu lah kamu harus takut.
Janji yang Mungkar
Namun janji itu hanya wajib ditunaikan manakala berbentuk sesuatu yang hala dan makruf. Sebaliknya bila janji itu adalah sesuatu yang mungkar, haram, maksiat atau hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam, maka janji itu adalah janji yang batil. Hukumnya menjadi haram untuk dilaksanakan.
Misalnya seseorang berjanji untuk berzina, minum khamar, mencuri, membunuh atau melakukan kemaksiatan lainnya, maka janji itu adalah janji yang mungkar. Haram hukumnya bagi seorang muslim untuk melaksanakan janjinya itu. Meski pun ketika berjanji, dia mengucapkan nama Allah SWT atau sampai bersumpah. Sebab janji untuk melakukan kemungkaran itu hukumnya batal dengan sendirinya.
Dalam kasus tertentu, bila seseorang dipaksa untuk berjanji melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Islam, tidak ada kewajiban sama sekali baginya untuk menunaikannya.
Misalnya, seorang prajurit muslim dan disiksa oleh lawan. Lalu sebagai syarat pembebasan hukumannya, dia dipaksa berjanji untuk tidak shalat atau mengerjakan perintah agama. Maka bila siksaan itu terasa berat baginya, dia diberi keringanan untuk menyatakan janji itu, namun begitu lepas dari musuh, dia sama sekali tidak punya kewajiban untuk melaksanakan janjinya itu. Sebab janji itu dengan sendirinya sudah gugur.
Dalam kasus Amar bin Yasir, hal yang sama juga terjadi dan Allah SWT memberikan keringanan kepadanya untuk melakukannya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.
Hukuman Bila Melanggar Janji/ Sumpah

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur.
Dari ayat tersebut bisa kita ambil beberapa ketentuan hukum antara lain:
1. Tidak semua pelanggaran atas sumpah itu diancam dengan hukuman. Karena ada jenis sumpah tertentu yang dinilai oleh Allah SWT sebagai sumpah yang main-main saja.
2. Apabila seseorang melanggar sumpah yang disengaja, maka harus ditebus dengan beberapa alternatif yaitu:
  1. Memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
  2. Memberi pakaian kepada mereka atau
  3. Memerdekakan seorang budak.
  4. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.

4 Situasi yang bisa jadi diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk membatalkan janjinya

Tidak diragukan lagi bahwa menepati janji dan menjaga perkataan seseorang adalah sikap dari orang beriman dan membatalkan janji merupakan salah satu tanda orang yang munafik. Berdasarkan hadits, Nabi Muhammad SAW mengatakan :"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya" (HR. Bukhari dan Muslim). Satu tambahan lagi, "Dan apabila bertengkar (bertikai), dia melampau."
Namun apakah ada alasan yang memperbolehkan seseorang ketika dia harus membatalkan janjinya menurut Islam?
Syeikh M. S. Al-Munajjid, pengarang dan pengajar dari Arab Saudi yang cukup populer, di bawah ini menjelaskan tentang situasi-situasi yang bisa jadi dibolehkan bagi seorang Muslim ketika dia harus membatalkan janji yang pernah ia buat:

“Orang beriman yang berjanji ke orang lain dan membatalkan janjinya itu mungkin punya alasan dan mungkin juga tidak. Jika dia memiliki alasan yang kuat dan diperbolehkan menurut agama Islam, maka tidak ada dosa baginya, namun jika ia tidak memiliki alasan yang kuat maka ia telah berbuat dosa.
Sepengetahuan kami, tidak ada keterangan yang menyebutkan membolehkan satu alasan yang dapat membatalkan janji, tapi mungkin ada beberapa janji yang dibatalkan karena situasi yang terjadi yang tidak memungkinkan bagi seseorang yang beriman untuk menepatinya. Sebagai contoh:

1-Lupa

Allah Swt. telah memaafkan hamba-Nya yang karena lupa sehingga ia tidak mengerjakan sesuatu yang wajib. Allah Swt. berfirman, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah" (Al-Baqarah: 286) Dan Allah Swt. menjawab: “Iya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Dalam tafsir yang menjelaskan tentang surat Al-Baqarah ayat 285-286 itu disebutkan,
Di dalam ayat-ayat tersebut juga terdapat pemberitaan bahwa Allah tidak membebani para hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuan mereka, setiap jiwa akan mendapat pahala kebaikan yang dilakukannya dan dosa atas kejahatan yang dilakukannya, Allah Ta’ala mengampuni keterbatasan mereka dalam mengemban kewajiban-kewajiban dan hal-hal haram yang dilanggar, tidak memberikan sanksi atas kesalahan dan kelupaan mereka, Dia sangat memudahkan syari’at-Nya dan tidak membebani mereka hal-hal yang berat dan sulit sebagaimana yang dibebankan kepada orang-orang sebelum mereka serta tidak membebankan mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Dia telah mengampuni, merahmati dan menolong mereka atas orang-orang kafir. (Lihat, Tasysiir al-Kariim ar-Rahmaan, h.101)

Allah Ta’ala telah menjelaskan karunia-Nya itu dengan firman-Nya, ‘Telah Aku lakukan (Aku telah menetapkannya)’ sebagai jawaban atas setiap doa yang ada di dalam ayat-ayat tersebut.
Dan bagi siapa saja yang berjanji kepada orang lain lalu ia lupa untuk melakukannya di waktu yang telah ditentukan maka tidak ada dosa baginya.

2-Karena dipaksa
Gara-gara dipaksa bisa menjadi alasan yang memperbolehkan seorang Muslim untuk membatalkan janji yang ia buat, seperti seseorang yang ditahan atau dicegah sehingga ia tidak bisa memenuhi janjinya, atau seseorang yang diancam dengan hukuman yang menyakitkan.

Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya Allah memaafkan kepada umatku dari kesalahan yang tidak disengaja, lupa atau yang dipaksakan atasnya." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim dan Ibnu Majah.)

3- Berjanji untuk melakukan sesuatu perbuatan yang haram atau tidak melakukan yang hukumnya wajib
Barangsiapa yang berjanji kepada seseorang bahwa ia akan melakukan perbuatan yang haram untuknya, atau ia tidak akan melakukan sesuatu yang hukumnya wajib, maka diperbolehkan baginya untuk tidak memenuhi janji tersebut.

4-Suatu kejadian yang tidak terduga sebelumnya
Jika terjadi suatu kejadian yang tidak diduga sebelumnya dan menimpa orang yang berjanji, seperti sakit, kematian saudaranya atau transportasi yang bermasalah dan alasan-alasan lainnya, maka situasi tersebut mungkin bisa menjadi alasan yang tepat apabila dia tidak bisa memenuhi janjinya, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)" 

TENTANG NAZAR 

Dalil syarak
Firman Allah dalam ayat 7 surah al-Insan yang bermaksud : Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang mana azabnya merata di mana-mana.

Hadis riwayat imam Bukhari daripada Sayyidatina ‘Aishah daripada nabi S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Sesiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah maka taatilah akanNya dan sesiapa yang bernazar untuk berbuat maksiat kepadaNya maka janganlah membuat maksiat kepadaNya.

Hukum nazar
Nazar disyariatkan oleh Islam dan diharuskan untuk menghampirkan diri kepada Allah. Oleh sebab ia itu para ulama’ feqah berpendapat tidak sah nazar orang kafir.

Jenis-jenis nazar
Nazar terbahagi kepada 3 jenis iaitu sebagaimana berikut :

Pertama : Nazar Lajaj
Ia merupakan nazar yang berlaku ketika seseorang itu berada dalam keadaan hilang pertimbangan diri akibat terlalu marah seperti dia berkata ketika dalam keadaan itu : ” Sekiranya aku bercakap dengan si pulan maka demi Allah atasku puasa sebulan”.

Kedua  : Nazar al-Mujazah ( Mukafaah )
Ia merupakan nazar yang mana seseorang itu bergantung pada sesuatu yang akan menyebabkan dia akan melakukan sesuatu. Dia berbuat demikian bukannya ketika hilang pertimbangan diri akibat terlalu marah. Contohnya seperti seorang yang bernazar itu berkata : “Sekiranya Allah menyembuhkan penyakitku ini maka demi Allah aku akan bersedekah seekor kambing”.

Ketiga  : Nazar Mutlak
Ia merupakan nazar yang mana dilafazkan oleh seseorang bagi tujuan mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengaitkan nazarnya itu dengan sesuatu perkara yang lain dan juga bukan dilafaz ketika hilang pertimbangan diri kerana terlalu marah. Contohnya seseorang itu berkata : “Bagi Allah atasku puasa pada hari Khamis”.

Dipanggil juga nazar jenis kedua dan ketiga sebagai nazar kebajikan kerana orang yang bernazar itu berniat untuk berbuat kebajikan dan menghampirkan diri kepada Allah.

Hukum bagi setiap jenis nazar
Pertama : Nazar Lajaj
Hukumnya bergantung kepada perkara yang dikaitkan dengannya iaitu apa yang dinazar. Jika ia boleh berlaku maka wajib atas orang yang bernazar itu untuk melaksanakan apa yang dinazarkan atau pun membayar kafarah sumpah. Dia dibolehkan untuk memilih antara keduanya kerana nazar jenis ini hampir sama dengan nazar dari sudut mewajibkan diri(mewajibkan berpuasa sebulan misalnya) dan menyerupai sumpah pada sudut keadaannya sebagai jalan ke arah menghalang daripada sesuatu(tidak mahu bercakap dengan si pulan misalnya).

Dalilnya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim daripada ‘Uqbah bin ‘Amir daripada Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Kafarah nazar seperti kafarah sumpah.

Kedua  : Nazar al-Mujazah
Hukumnya ialah jika apa yang dikaitkan dengan apa yang dinazar berlaku seperti sembuh daripada penyakit maka dia diwajibkan untuk melaksanakan apa yang telah dinazar seperti sedekah seekor kambing. Dia tidak boleh menggantikannya dengan perkara lain.

Dalilnya sebagaimana maksud firman Allah dalam ayat 29 surah al-Haj : Dan kamu hendaklah menepati dengan janji Allah apabila kamu berjanji.
Maksud hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh imam Bukhari daripada Sayyidatina ‘Aishah: Sesiapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah akanNya.

Ketiga  : Nazar Mutlak
Hukumnya ialah wajib ke atas orang bernazar untuk melaksanakan apa yang telah dinazarkan secara mutlak tanpa terikat pada sesuatu perkara.

Dalilnya adalah sebagaimana ayat 29 surah al-Haj sebagaimana disebut dalam nazar al-Mujazah di atas yang mana ia datang dengan dalil yang umum. Dia diharuskan untuk melewatkan pelaksanaan kepada apa yang telah dinazarkan sehinggalah dia merasakan bahawa dirinya sudah mampu untuk melaksanakannya seperti berpuasa pada hari Khamis.

Dia tidak boleh menukar nazarnya itu dengan kafarah sumpah kerana makna sumpah telah ternafi dengan nazar jenis ini.

SYARAT NAZAR YANG BERKAITAN DENGAN ORANG YANG BERNAZAR
Syarat nazar yang berkaitan dengan batang tubuh orang yang bernazar itu sendiri ada 3 syarat iaitu :

Pertama : Islam
Tidak sah nazar orang kafir kerana kafir bukan termasuk dalam ahli bagi kerja ibadat kepada Allah.

Kedua   : Mukallaf
Tidak sah nazar kanak-kanak dan orang gila kerana mereka bukan ahli bagi mewajibkan sesuatu ke atas mereka.

Ketiga  : Pilihan dan kehendak diri sendiri
Tidak sah nazar orang yang dipaksa sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah daripada Ibnu Abbas bahawa Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud : Diangkat daripada umatku jika dia berbuat secara tersalah, lupa dan apa yang dipaksa ke atasnya.

SYARAT NAZAR YANG BERKAITAN DENGAN APA YANG DINAZARKAN
Syarat nazar yang berkaitan dengan perkara yang dinazar pula ada 2 syarat iaitu :
Pertama : Perkara yang dinazar itu merupakan perkara yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Tidak boleh bernazar kepada perkara yang diharuskan oleh syarak kerana perkara itu tidak membawa kepada pahala atau dosa bagi sesiapa yang melakukannya. Jika seseorang itu bernazar dalam perkara yang diharuskan seperti makan, minum, tidur dan sebagainya maka ia tidak memberi kesan apa-apa kepada nazarnya.

Dalilnya adalah sebagaimana hadis riwayat imam Bukhari daripada Ibnu Abbas telah memberitahu : Adalah nabi S.A.W ketika berkhutbah, tiba-tiba ada seorang lelaki yang bangkit dan bertanya tentang dirinya. Maka mereka(para sahabat) bertanya : Abu Israel telah bernazar untuk sentiasa bangun, tidak duduk, tidak berteduh, tidak bercakap dan berpuasa. Maka jawab baginda S.A.W yang bermaksud : Biarkan maka bercakaplah, berteduhlah, duduklah dan tunaikan puasanya.

Hadis ini menunjukkan kepada kita bagaimana Rasulullah S.A.W menyuruh orang yang bernazar tadi untuk hanya berpuasa kerana puasa merupakan perkara ibadat dan taat. Maka menunaikan nazar berpuasa itu adalah wajib.
 
Begitu juga dilarang bernazar dalam perkara yang diharamkan seperti membunuh dan berzina.

Dilarang juga bernazar dalam perkara yang makruh seperti bernazar untuk meninggalkan sunat rawatib setiap kali selepas solat fardhu. Ini adalah kerana bernazar untuk melakukan perkara makruh dan haram bukan termasuk dalam perkara yang bertujuan untuk mendekatkan dirui kepada Allah dan ibadat.

Dalil yang mana imam Muslim meriwayatkan bahawa Rasulullah S.A.W bersabda yang bermaksud : Bukan nazar dalam melakukan maksiat kepada Allah.

Abu Daud meriwayatkan daripada Rasulullah S.A.W yang bermaksud : Bukan nazar melainkan pada apa yang mengharapkan penerimaan Allah.

Kedua  : Perkara yang dinazar itu bukan daripada kewajipan yang memang telah diwajibkan dari mulanya lagi
Sekiranya seseorang itu bernazar untuk solat Zohor atau ingin mengeluarkan zakat hartanya maka nazarnya itu tidak sah kerana nazarnya itu tidak membawa kesan kepada kewajipan yang baru. Ini disebabkan solat Zohor dan zakat hartanya itu memang telah wajib dari mulanya lagi tanpa memerlukan kepada nazar lagi.
Dan terkeluar daripada kewajipan yang telah ditentukan ialah perkara yang diwajibkan secara fardhu kifayah maka ia diharuskan untuk bernazar dengannya. Sebagai contohnya seseorang itu bernazar ingin solat jenazah atau pun belajar ilmu fardhu kifayah seperti kedoktoran, jurutera dan sebagainya maka nazar ini diharuskan. Ini adalah kerana nazarnya tadi akan menjadikan fardhu kifayah pada asalnya kepada fardhu ‘ain. Fardhu kifayah hanya diwajibkan kepada sesetengah orang atau kumpulan sahaja di mana jika telah ada demikian itu maka segala kewajipan tadi akan gugur ke atas orang lain sedangkan fardhu ‘ain diwajibkan ke atas individu dalam apa jua keadaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar