Jumat, 06 Mei 2016

Hukum Ingkar Janji dalam Al-Qur'an



Dalam Islam, janji adalah sesuatu yang sangat di jaga, selama janji tersebut tidak bertujuan untuk berbuat dosa dan ingkar kepada Allah. Dan setiap muslim sangat di tekankan untuk menepati janji yang sudah mereka ikrarkan. Adapun perintah untuk menepati janji telah Allah sebutkan dalam Al-Qur'an Surah An-Nahl : 91-92
 
Menepati janji
Al-Qur’an Surah An-Nahl : 91-92
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (91) وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (92)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. 16:91) Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya mengujimu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (QS. 16:92)” (an-Nahl: 91-92)
Hal ini merupakan bagian yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, yaitu menepati janji dan ikatan serta memelihara sumpah yang telah dikuatkan. Oleh karena itu, Dia berfirman: walaa tanqudlul aimaana ba’da taukiidiHaa (“Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah [kamu] itu sesudah meneguhkannya.”) janganlah anda mempertentangankan ayat ini dengan ayat berikut ini: “Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang,” dan ayat seterusnya. (QS. Al-Baqarah: 224) karena yang di maksud dengan al-aimaan dalam ‘dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah mengukuhkannya” adalah melanggar janji dan ikatan untuk menipu, bukan sumpah-sumpah yang biasa di ucapkan untuk bertekad melakukan sesuatu atau tidak melakukannya serta anjuran untuk melanggar sumpah yang menghambat kebaikan dengan membayar kifarat.
Penafsiran di atas di kuatkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Muth’im. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
لَا حِلْفَ فِي الإسْلَامِ. وَأِيَّمَا حِلْفٌ فِي اْالجَاهِلِيَّةِ فَإِنَّهُ لَايَزِيْدُهُ الإِسْلَامُ إِلَّاشِدَّةً (رواه أحمد)
“Tiada janji perserikatan dalam Islam. Persekutuan apapun yang terdapat pada zaman jahiliah, maka Islam semakin mengokohkannya.” (HR. Ahmad)
Hadis senada diriwayatkan pula oleh muslim dari Ibnu Abu Syaibah. Maksudnya hadis itu ialah bahwa Islam tidak memerlukan janji persekutuan yang biasa di lakukan oleh manusia pada zaman jahiliah, sebab dengan memegang teguh Islam berarti tidak di perlukan lagi apa yang di lakukan orang pada zaman jahiliah. Adapun makna haalafa yang di kemukakan dalam shahihain pada hadis yang diriwayatkan bahwa Anas r.a berkata:
حَالَفَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَ اللّهُ عَلَيهِ وَسَلّم بَيْنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأَنْصَارِ فِي دُوْرِنَا (رواه البخاري و مسلم)
“Rasulullah SAW. Mempersekutukan kaum muhajirin dan kaum Ashar dalam harta milik kami (rumah).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ialah bahwa beliau mempersaudarakan antara kedua golongan itu sehingga mereka dapat saling mewarisi sebelum hal ini di nasakh oleh Allah. Wallahu a’lam.[1]
Menepati janji Allah mencakup baiat (sumpah/janji) umat Islam kepada Rasulullah, dan mencakup pula setiap perjanjian terhadap perbuatan makruf yang di perintahkan Allah. Menepati janji-janji adalah jaminan atas keberlangsungan unsur tsiqah ‘kepercayaan penuh’ dalam etika pergaulan di antara manusia. Tanpa tsiqah ini maka, sebuah masyarakat tidak akan tegak. Begitupun kemanusiaan, tidak akan tegak melainkan dengannya.
            Konteks ayat di atas seakan-akan membuat malu para muta’ahidin ‘pemegang jani’ ketika mereka membatalkan sumpah-sumpahnya setelah mereka meneguhkan sendiri janji-janjinya itu. Sementara mereka telah menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka. Merekapun memberikan kesaksian sumpah-sumpahnya kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka untuk menepatinya. Kemudian Allah mengancam mereka dengan ancaman yang sangat halus dari jangkauan mereka, “sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”[2]
Firman Allah, “sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” merupakan intimidasi dan ancaman bagi orang yang melanggar janji setelah dia menguatkannya.
Sekaitan dengan ayat, “Dan janganlah seperti orang perempuan yang menguraikan benang-beanangnya yang sudah di pintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali,” Mujahid, Qatadah, dan Ibnu Zaid menafsirkan: ayat ini merupakan perumpamaan bagi orang yang melanggar janjinya setelah dia menguatkannya.[3]
Orang yang membatalkan sumpahnya bagaikan seorang wanita yang idiot lagi lebah tekad dan pikirannya. Wanita itu memintal benangnya kemudian menguraikan dan membiarkan benang tersebut sehelai-demi sehelai lepas dan terpisah. Setiap hal yang serupa dengan perumpamaan ini menunjukkan kehinaan, kekerdilan, dan keanehan. Manusia yang paling terhormat pun tidak akan sudi apabila dirinya diibaratkan sebagai seorang wanita yang lebah radah (kemauannya) dan dangkal akal pikirannya yang hanya menghabiskan umurnya untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya.
Ada juga sebagian kaum kafir yang menjadikan alasan bagi dirinya ketika ia membatalkan janjinya dengan Rasulullah bahwa beliau dan orang-orang yang bersamanya sangat sedikit dan lemah. Sementara kaum Quraisy adalah kelompok yang kuat dan banyak. Karenanya, Allah memperingatkan mereka bahwa itu bukanlah satu alasan yang benar bagi mereka untuk menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai alat penipu belaka dan merekapun bisa berlepas diri darinya. Firman-Nya:
“Kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlanya dari golongan yang lain.”
Yakni dengan sebab satu kelompok lebih besar jumlahnya dan lebih kuat lagi di banding dengan kelompok lainnya dan mencari kepentingan (kemaslahatan) dengan kelompok yang lebih banyak.
Islam hanya memerintahkan dengan tegas agar memang janjinya (menepatinya) dan tidak menjadikan sumpah-sumpah itu sebagai sarana untuk melakukan penipuan. Lain halnya apabila yang bersangkutan tidak mengikrarkan satu perjanjian ataupun kerja sama di luar ruang lingkup kebaikan dan ketakwaan. Tentu saja tidak dibenarkan melakukan satu perjanjian dan kerja sama di atas dasar dosa, kefasikan, kemaksiatan, memakan hak-hak orang lain, dan merampok kekayaan negara dan bangsa. Atas dasar inilah bangunan Jamaah Islam dan negara Islam tegak.
Firman Allah “disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain” adalah cobaan dari Allah kepada mereka untuk menguji radah ‘kemauan’ dan ‘wafa’’ ‘menepati janji’. Juga menguji kemuliaan terhadap diri-diri mereka sendiri dan menyinggung (menyindir) sikap mereka yang melakukan pembatalan janji yang telah mereka persaksikan kepada Allah,
“sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu.” Setela itu masalah khilaf ‘perselisihan’ yang melibatkan semua jamaah dan kelompok manusia di kebalikan kepada Allah di hari kiamat untuk di putuskan oleh-Nya.[4]
Yang di maksud dengan ankaatsan dalam ayat 92 ialah menguraikan dengan hebat, atau kamu menjadi pelanggar janji. Karena itu, pada ayat sesudahnya Allah berfirman, “kamu menjadikan sumpahmu sebagai alat penipu di antara kamu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.” Yakni, kamu bersumpah kepada manusia jika jumlah mereka lebih banyak daripada kamu, agar mereka berbaik kepadamu. Namun jika sudah memungkinkan untuk berkhianat, kamu pun mengkhianati mereka. Maka Allah melarang perbuatan demikian melalui kelompok atas terhadap kelompok bawah, maka larangan melanggar janji oleh yang bawah terhadap pihak yang memiliki kekuatan tentu lebih kuat lagi.
“sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu,” yakni dengan perintah memenuhi janji. “Dan sesungguhnya di hari kiamat akan di jelaskan-Nya kepada mu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu,” lalu setiap orang dibalas dengan perbuatannya, apakah perbuatan itu baik atau buruk.[5]
Hukum Memenuhi Janji
           Berdasarkan ayat-ayat di atas pada dasamya segala janji yang baik yakni janji yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, wajib ditunaikan, wajib dipenuhi. Namun boleh jadi hukum janji itu bisa berubah. Ini menurut M.Yunan Nasution dalam khutbahnya, menjadi :
1. Sunnah memenuhinya. Artinya boleh ditinggalkan. Misalnya orang yang berjanji untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diperintahkan agama. Misainya, sejak hari ini saya tidak akan makan sambal.
2. Sunnah tidak memenuhinya. Contohnya seperti orang yang berjanji dan bersumpah akan melakukan suatu perbuatan, misainya jika saya lulus SLTA saya mau kursus menjahit. Ternyata dia berubah pikiran untuk melanjutkan kuliah dan ternyata diridhai orang tua. Maka kursus menjahitnya pun dibatalkan, karena melanjutkan kuliah. Konsekuensinya dia harus membayar kafarat sumpahnya itu. yaitu puasa kafarat 3 hari berturut- turut.
3. Wajib tidak memenuhi janjinya. Yakni janji untuk berbuat jahat.
Madharat Ingkar Janji
Ingkar janji alias berbuat kebohongan. Hampir setiap orang yang pernah berhubungan dengan orang lain kami kira sudah pernah merasakan, betapa pahitnya dibohongi orang lain dengan ingkar janji. Memang ingkar janji itu penuh dengan madharat, banyak sisi negatif yang akan timbul akibat ingkar janji ini. Di antaranya :
1.         Jika orang yang diingkari itu tidak rela, maka akan bereaksi dan timbul kemarahan. Jika marah tak terkendali, bisa menimbulkan pertengkaran, perkelahian, bahkan bisa menyebabkan pembunuhan. Pemimpin ingkar janji terhadap rakyatnya, maka bukan mustahil akan tenadi pemberontakan dan prahara di negerinya.
2.         Jika periodenya habis, jangan harap bisa terpilih lagi sebagai pemiumpin.
3.         Jika yang ingkar janji seorang pacar, sering menimbulkan stress berat dan akhirnya bunuh diri.
4.         Jika yang ingkar janji suatu perusahaan terhadap karyawannya. sering menbimbulkan demo yang bisa membangkrutkan perusahaan itu sendiri.
Allah SWT akan mengutuk keras dan melaknat serta menimpakan bencana terhadap orang yang ingkar janji, baik itu berjanji kepada Allah maupun berjanji terhadap saesama manusia.
Ingkar janji adalah merupakan indikasi orang munafiq, karena ciri-ciri orang Munafiq adalah suka berdusta, suka ingkar janji dan suka mengkhianati amanat, sebagaimana disebuatkan dalam sebuah hadits : “ tanda-tanda orang munafiuq ada tiga : jika ngomong dusta,jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat khianat. ” (H.R.Muslim).
Sedangkan orang munafiq diancam oleh Allah bakal dimasukkan ke dasar neraka, seperti firman Allah yang tertera dalam Al Quran surat An Nisaa‘145.
Menjauhi Sifat Munafik/ Ingkar Janji
           Beragam manusia menghiasi kehidupan ini. Berbagai sifat dan karakter juga mengisi bias kehidsupan. Tidak hanya orang dengan kepribadian baik yang mengisi keuniversalan alam. Namun, sifat dan karakter yang kurang baik juga mewarnai denyut aktivitas.Menjadi orang baik adalah harapan semua manusia. Tidak ada orang yang ingin hidupnya diisi dengan perbuatan dosa. Penyebab seseorang berbuat dosa pun bervariasi karena setiap orang memiliki sifat yang berbeda. Ada yang berupa kepentingan pribadi, adapula yang karena kepentingan bisnis. Kepentingan pribadi pun juga sangat luas, misalnya ambisi dalam menduduki jabatan tertentu.
Beragam sifat kurang baik pun mengisi keuniversalan manusia. Mulai dari sifat yang berdosa kecil hingga besar. Itulah namanya kehidupan. Warna warni karakter, sifat selalu ada dalam kehidupan. Salah satu sifat yang tergolong tidak baik adalah sifat munafik. Seringkali, kita mendengar kata munafik. Kadangkala kita tidak mengetahui apakah sifat munafik tersebut dan bagaimanakah tanda-tanda orang yang tergolong munafik.  Munafik merupakan salah satu sifat kurang terpuji.
Namun, yang lebih utama adalah menjauhi sifat-sifat munafik. Untuk lebih memudahkan menghilangkan sifat munafik, kita perlu mengetahui tanda-tanda sifat munafik tersebut. Dengan mengenali sifat tersebut, kita akan lebih mudah menjauhi sifat munafik. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR. Bukhori Muslim mengemukakan
‘’Ayatul munafiqhi shalasha idza qhadasha qhudaba. Wa idha wa ada akh lafa. Wa idza’ tumina qho na.  artinya adalah tanda orang munafik itu tiga jika berkata dusta dan jika berjanji menyalahi dan jika dipercaya khianat (cidera janji). HR. Bukhori Muslim.
Salah satu tanda sifat munafik terdapat pada orang yang suka berdusta. Bohong merupakan sifat yang tercela. Seringkali kita menemui orang yang suka mengatakan dusta. Umumnya, orang yang suka berdusta sekali maka dia akan terus berbohong sebagaimana terperinci pada artikel saya sebelumnya mengenai hilangnya kejujuran. Berbagai penyebab yang membuat orang suka berdusta. Ada yang suka berdusta memang dikarenakan karakternya memang seperti itu dan adapula yang suka berdusta karena keadaan atau kondisi yang membuat bohong lebih baik. Namun, berbagai alasan dusta tidak dapat dibenarkan karena dusta adalah perbuatan yang mengandung dosa.
Selain dusta, orang yang ingkar janji juga termasuk dalam tanda-tanda orang munafik. Orang yang tidak pernah menepati janjinya termasuk dalam golongan orang munafik. Mereka mudah berkata janji tetapi tidak bisa menepatinya. Ingkar janji seringkali kita jumpai. Tidak hanya dalam kehidupan masyarakat biasa, tetapi juga sering dijumpai apabila mendekati pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah hingga eksekutif. Sebagai contoh, seorang calon kepala daerah dalam melaksanakan kampanye mudah sekali berbicara janji di depan rakyatnya. Tujuannya, adalah menarik simpati warga untuk mendukungnya menjadi pemimpin daerah. Manakala calon pemimpin tersebut meraih suara banyak hingga membuatnya terpilih menjadi kepala daerah, maka janji-janjinya semakin lama semakin pudar dan calon pemimpin tersebut tidak menepatinya.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor, misalnya kepentingan pribadi yang ingin menumpuk harta karena telah mendapatkan kesempatan emas hingga kepentingan politik. Oleh karena itu, hendaknya setiap manusia menjadi orang yang amanah. Artinya manakala mereka berjanji maka ucapannya dapat dipercaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar